Wednesday, September 17, 2008

Ekonomi Bangsa, Ekonomi Syariah dan SEF UGM

Satu abad kebangkitan nasional pada 20 Mei 2008 lalu masih terngiang-ngiang di telinga kita. Tidak lama lagi momen historis Sumpah Pemuda pada 10 windu silam yang menandai bangkitnya rasa persatuan di tanah air Indonesia akan kita jumpai. Kemudian, secara de facto dan de jure bangsa Indonesia sudah ada selama 63 tahun. Selanjutnya, telah 1 dasawarsa lamanya bangsa Indonesia melewati momentum reformasi—momentum perbaikan bangsa. 

Memang tahun 2008 penuh dengan angka-angka bersejarah yang memberi pengaruh pada perjalanan hidup bangsa Indonesia hingga sekarang. Namun terlepas dari masa-masa historis yang telah berlalu tersebut, sejauh mana perubahan yang telah kita rasakan sebagai rakyat Indonesia. Adakah kenyamanan, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan yang kita rasakan? Atau apakah kondisi tidak jauh berbeda dibanding sebelum momen-momen bersejarah tersebut? Mungkin tiap kita punya pandangan masing-masing terkait hal ini. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berada dalam keadaan yang miris khususnya permasalahan ekonomi bangsa.

Fakta menunjukan bahwa di negeri yang bergelar gemah ripah loh jinawi masih ada sekitar 37,17 juta jiwa penduduk miskin, 10,54 juta jiwa pengangguran, dengan tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,37[1] dimana ada segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan yang luas, tanpa penghasilan.[2]Apa yang salah sebenarnya? Kita mempunyai SDM dan SDA yang berlimpah. Namun mengapa bangsa ini masih saja berada dalam keterpurukan selama bertahun-tahun lamanya?

Memang secara de facto dan jure bangsa Indonesia sudah dinyatakan merdeka 63 tahun yang lalu dan telah melewati bertahun-tahun momentum sejarah: reformasi, kebangkitan nasional, hingga sumpah pemuda. Petanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka dan berdaulat di negeri sendiri? Amien Rais mengatakan bahwa “kemerdekaan” dan “kedaulatan” yang diberikan tanda petik pertanda bahwa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia masih semu, belum sepenuhnya kita miliki.[3]

Amien Rais (2008) mencontohkan fakta-fakta yang mencerminkan bahwa negeri ini masih belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Ambil contoh dalam bidang ekonomi. Produksi minyak sekitar 1 juta barrel/hari sudah di dominasi asing, muatan laut Indonesia sebesar 46,8% dikuasai oleh kapal berbendera asing, lebih dari 50% perbankan nasional di kuasai oleh asing.

Tidak perlu disangkal lagi, walaupun di atas kertas bangsa ini menyatakan menganut sistem ekonomi pancasila, tetapi di lapangan menunjukkan liberalisme dan kapitalisme begitu mempengaruhi akan kebijakan perekonomian bangsa. Cengkraman konglomerat asing tidak terbendung untuk melakukan kebijakan ekonomi, sehingga orientasi ekonomi bangsa bukan lagi untuk kepentingan kemakmuran rakyat, tetapi sudah beralih pada kepentingan bangsawan asing. 

Sebelum berlarut-larut membicarakan keburukan sistem ekonomi yang ada sekarang. Akan lebih bijak rasanya jika kita fokuskan diri untuk mencari solusi permasalahan yang sedang terjadi. Mencari alternatif dari mekanisme ekonomi yang ada sekarang jauh lebih baik dan lebih penting dari pada kita menyibukkan diri mengkritik bangsa asing. Di saat timbulnya banyak permasalahan ekonomi, baik bangsa maupun dunia. Ketika kapitalisme semakin menunjukkan titik lemahnya dan sosialisme tak mungkin lagi bangkit dari kehancurannya, maka sistem ekonomi islam atau yang juga dikenal dengan ekonomi syariah semakin mencuat namanya ke permukaan sebagai mainstream atau pilihan baru sistem ekonomi. 


Ekonomi Syariah

Kalau kita lihat, sebenarnya ada dua aliran ekonomi yang sedang berkembang di Indonesia maupun dunia. Pertama, ekonomi konvensional yang pengelolaannya cenderung pada sistem ekonomi kapitalisme. Kedua, ekonomi islam atau syariah yang berdasar pada Al Qur’an dan Hadits sebagai pondasi ajaran islam. Jika ingin melihat perbedaan lebih mudahnya, bisa diperhatikan pada 2 jenis bank yang ada di Indonesia, yaitu bank konvensional dan bank syariah. 

Dari sisi pengelolaannya terlihat jelas, terutama dalam hal pembagian keuntungan. Konvensional terkenal dengan sistem bunga yang mana oleh sebagian para ulama ditetapkan bahwa bunga itu sama saja dengan riba. Sementara bank syariah populer dengan sistem bagi hasilnya yang menguntungkan kedua pihak, baik itu pihak bank maupun nasabah sehingga tidak ada yang terzhalimi. Namun terlepas dari hal itu dan juga harus menjadi catatan penting bagi kita semua bahwa perbankan syariah hanyalah salah satu bentuk implementasi dari sistem ekonomi islam, bukan sebagaimana paradigma yang banyak berkembang di tengah masyarakat bahwa ekonomi islam adalah perbankan syariah. 


Shariah Economics Forum (SEF) FEB


Sering kali kita melakukan dikotomi terhadap ilmu yang dipelajari, misalnya sesuatu yang tabu rasanya jika mahasiswa perguruan tinggi negeri umum mempelajari ilmu keislaman termasuk ekonomi islam atau ekonomi syariah. Padahal tidak ada masalah dengan itu semua. Ketika kita cenderung didoktrinisasi dengan mata kuliah yang lebih dekat kepada ekonomi konvensional, perlu kiranya jika dibarengi dengan pemahaman terhadap aliran sistem ekonomi lainnya, termasuk ekonomi syariah. Sehingga paradigma berpikir kita akan bisa lebih luas dan tidak terfokus pada salah satu school of thought yang ada. 

Maka, tidak ada salahnya jika kita sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis untuk mencoba mengenal lebih dalam mengenai ekonomi islam ini. Why? Karena fakta sejarah telah menunjukan kepada dunia pada 14 abad yang lalu bahwa Islam telah memberikan kontribusi bagi peradaban manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Artinya, ekonomi Islam pun secara ilmiah dapat dibuktikan kontribusinya secara lebih luas. 

Bahkan, kalaulah boleh jujur dikatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang banyak dianut saat ini sebenarnya para tokohnya banyak terinspirasi dari ilmuan dan ekonom muslim. Sebut saja Adam Smith yang dikenal dengan Bapak Ekonomi Konvensional, isi dari bukunya yang populer The Wealth of Nation, terinspirasi dari buku Al Amwalnya Abu Ubaid (838 M). 

Di sini, di FEB UGM yang kita cintai ini, teman-teman bisa menemukan dan mengenal lebih dalam tentang ekonomi syariah pada Shariah Economics Forum (SEF). Mari belajar ekonomi syariah dengan harapan kepahaman kita akan ekonomi syariah bisa menjadikannya solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Lets join with us… (M. Zia Anggiawan, Rijadh Djatu Winardi, Rizki Febriana)



[1] “Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007. Ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2007 cukup besar, setelah sebelumnya pada tahun 2006 berkisar pada kisaran 0,34. 

[2] Maarif, Ahmad Syafii. Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa. Republika, 5 Agustus 2008. 

[3] Rais, Amien. 2008. Agenda-Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.


No comments: