Friday, September 19, 2008

Belajar Memberi Makna

Semua berjalan seperti biasa. Kebanyakan orang-orang di sini, Korea, hanya tahu bahwa ini adalah bulan September. Di sepanjang jalan jarang ditemukan spanduk-spanduk bertuliskan “Marhaban Ya Ramadhan”, atau mungkin tak ada sama sekali. Ketika menyalakan televisi pun, tak ada acara-acara spesial seperti sinetron Ramadhan, di mana para artis tiba-tiba menjadi alim berjilbab. Ya, euforia Ramadhan yang biasanya ditemui di tanah air setiap setahun sekali, di sini hanya senyap.

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, mungkin memang memiliki ciri khas tersendiri dalam menyambut dan menjalankan Ramadhan. Bisa jadi, Indonesia pada masa Ramadhan adalah objek yang sangat menarik untuk diteliti para sosiolog. Bagaimana tidak, banyak sekali ketiba-tibaan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Dan bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnis, Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk menggugah sifat konsumtif manusia. Berbagai department store memasang besar-besar spanduk “SALE RAMADHAN” atau “SALE LEBARAN”. Berbondong-bondong pembeli datang untuk berbelanja, bahkan mungkin menghabiskan sebagian besar waktunya di mal-mal. Padahal di rumah mereka, Alquran tergeletak begitu saja menanti untuk dibaca oleh pemiliknya. Apakah Ramadhan telah mengalami pergeseran makna?

Sore itu, di tengah segala suasana yang serba “biasa”, saya berjalan di sekitar Yuseong, Daejeon. Kertas “post-it” kuning bertuliskan petunjuk menuju Daejeon Islamic Center terus saya perhatikan. Turun di halte bus yang salah membuat awalnya saya agak kebingungan arah, namun sesaat kemudian saya menemukan jalan menuju ke tempat tersebut. Jangan dikira tempatnya megah atau indah dihiasi kubah-kubah masjid seperti di Indonesia. Di sepanjang jalan itu, berderet bangunan ruko, dari restoran sampai toko kaca mata. Jika tidak diperhatikan baik-baik, mungkin saya hanya akan berlalu dan tak dapat menemukan tempat bernama Daejeon Islamic Center, yang dari namanya bisa diartikan bahwa tempat tersebut adalah pusat studi, kajian, dan berkumpulnya orang-orang islam di Daejeon. Tempat itu berada di salah satu kawasan ruko yang cukup padat, berada di ruko lantai dua, dan tepat di bawahnya adalah sebuah bar. Sungguh sebuah ironi yang entah mesti dibilang menyedihkan atau membanggakan.


Lingkaran pengajian itu dihadiri tak lebih dari sepuluh orang wanita, bersyukur sekali saya berkesempatan menjadi satu di antaranya. Satu per satu, kami membaca surat Al-Qadr yang berarti “Kemuliaan”.

(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. (2) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (3) Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (4) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (5) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr: 1-5)

Seorang wanita asal Mesir, yang oleh orang-orang lainnya dipanggil dengan sebutan “mu'allimah”, memandu pertemuan hari itu. Entah mengapa, setiap kali ia membicarakan keagungan dan membacakan hadits-hadits mengenai Ramadhan , hati ini terasa bergetar. Padahal sebagian dari yang ia bicarakan, sudah pernah saya ketahui sebelumnya. Konon menurut sebagian ahli tafsir Alquran, mengapa dalam surat Al-Qadr disebutkan bahwa malam Lailatul Qadr lebih baik dari seribu bulan ialah karena seribu bulan setara dengan 83 tahun. Dan 83 tahun adalah perkiraan batas usia manusia. Jadi malam Lailatul Qadr nilainya lebih baik dari pada seumur hidup kita. Subhanallah...

Maka do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Ada sebuah kisah tentang betapa agungnya Ramadhan. Pada suatu hari, seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk menceritakan mimpinya. “Ya Rasul, aku memimpikan dua orang sahabat, mereka berdua selalu bersama dalam melakukan amal kebaikan. Salah seorang di antara mereka syahid dalam suatu perang. Dan seorang lainnya meninggal di tahun berikutnya ketika ia sedang tidur. Namun anehnya, sahabat yang meninggal saat tidur itu berada di surga yang lebih tinggi daripada sahabat yang syahid di medan perang.”

Dan Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau, hal itu dikarenakan sahabat yang meninggal setahun setelahnya memiliki kesempatan untuk sampai pada bulan Ramadhan selanjutnya. Dan pada bulan itu ia beribadah dengan sungguh-sungguh.”

Maka tak salah jika do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Di negeri ginseng ini semua berjalan seperti biasa. Tak ada atmosfer kemeriahan Ramadhan seperti di tanah air. Ah, tapi bukankah atmosfer itu harus kita ciptakan sendiri? Bukan hanya atmosfer yang terasa dari acara-acara televisi atau diskon-diskon dadakan yang diadakan oleh berbagai department store? Atmosfer itu ada di sini, di dalam hati kita. Kita tanamkan pada diri kita untuk beribadah sebaik yang kita mampu dan jadikan Ramadhan ini penuh makna. Kita tak pernah tahu, akankah kita sampai pada Ramadhan berikutnya...?

Daejeon, 8 September 2007 (Maisya)

Thursday, September 18, 2008

Mengenal Ekonomi Islam

 Perkembangan ekonomi islam di dunia, termasuk Indonesia, dalam beberapa dasawarsa ini telah menunjukan perkembangan yang luar biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga-lembaga ekonomi, baik keuangan maupun non-keuangan, yang mulai menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan operasionalnya. Ekonomi islam dijadikan sebagai alternatif lain dari kegagalan ekonomi konvensional, seperti ekonomi kapitalis dan sosialis. Untuk itu, alangkah baiknya kita, sebagai seorang muslim dan civitas akedemika, mengenal dan memahami ekonomi islam untuk menambah khasanah pengetahuan kita.

Ekonomi Islam

  Secara harafiah, ekonomi islam dapat diartikan sebagai sebuah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan pengelolaan harta benda manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Al- Hadist serta sumber hukum Islam lain yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist, seperti Ijma’ dan Qiyas.

  S.M Hasanuzzaman mendefiniskan ekonomi islam dalam makalahnya yang berjudul Definition of Islamic Economics sebagai berikut: "Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah dan tata cara yang ditetapkan oleh syariat, dengan tujuan mencegah ketidakadilan, dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material, guna memenuhi kebutuhan manusia, yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban kepada Allah SWT dan masyarakat."

  Dalam konsepnya, ekonomi islam memandang bahwa masalah utama ekonomi yang utama bukanlah bagaimana untuk memproduksi barang dan jasa, seperti pandangan ekonomi kapaitalis, melainkan bagaimana pendistribusi barang dan jasa tersebut di tengah-tengah manusia. Mengapa bisa demikian? sebab menurut pandangan ekonomi islam, produksi barang dan jasa adalah masalah yang mudah untuk diselesaikan dengan akal manusia sedangkan dalam proses pendistribusian barang dan jasa sering terjadi pertentangan, konflik, penyelewengan, dan keserakahan antarmanusia yang berujung pada ketidakadilan distribusi tersebut. Unsur fundamental yang membedakan ekonomi islam dari yang lainnya, yaitu bahwa ekonomi Islam bersifat robbani , menjunjung tinggi etika dan moral, menghargai hak-hak kemanusiaan dan bersifat modera Ekonomi islam memiliki tiga asas atau pilar utama yaitu:

Kepemilikan (al-milkiyah)

Dalam pandangan ekonomi islam, kepemilikan ada tiga jenis, yaitu

a) kepemilikan individu

Ekonomi islam mengakui adanya kepemilikan individu terhadap suatu benda tanpa dibatasi kuantitas asalkan cara memperolehnya sesuai dengan ketentuan syariat.

b) kepemilikan umum

Ekonomi islam mengatur kepemilikan bersama terhadap suatu benda yang bermanfaat bagi banyak orang. Yang termasuk benda ini adalah benda kebutuhan bersama (air, hutan, BBM), alam dan fasilitas umum, barang tambang.

c) kepemilikan negara

Pemanfaatan Kepemilikan (at-tashorruf fil milkiyah)

Ekonomi islam mengatur tata cara pengunaan harta miliknya sesuai dengan syariat islam. Meliputi dua kegitan, yaitu konsumsi dan produksi.

Distribusi Kekayaan (tauzi’u tsarwah baynannas)

Ekonomi islam mengatur pendistribusian harta sesuai dengan syariat. Distribusi dalam islam tidak hanya bertumpu motif ekonomi saja tetapi juga lebih megutamakan motif untuk meraih pahala yang sebanyak-banyaknya.

  Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa ekonomi Islam adalah solusi yang tepat atas kegagalan ekonomi, baik ekonomi sosialis, yang hanya dapat melahirkan manusia-manusia yang bermental peminta-minta dan pemalas, sehingga pada gilirannya terbukti mengakibatkan kehancuran suatu bangsa, atau ekonomi kapitalisme, yang memberikan keleluasaan mutlak atas kepemilikan tanpa dibarengi dengan asas keadilan sehingga menciptakan kemiskinan di berbagai belahan dunia.  

Perkembangan Ekonomi Islam

  Banyak orang awam mengira bahwa ekonomi islam adalah sesuatu baru yang muncul beberapa dekade yang lalu sebagai ekonomi solusi dari ekonomi sosialis yang tidak popular dan ekonomi kapitalis yang sarat ketidakadilan. Padahal, ekonomi islam sudah mulai berkembang berabad-abad sebelum aliran ekonomi klasik yang diusung olah Adam Smith muncul. Secara garis besar terdapat tiga tahap perkembangan ekonomi islam:

Masa Pertumbuhan dan Keemasan (450 M -1500 M)

  Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Kemudian setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dsb. Banyak ulama dan ilmuwan islam membahas tentang prinsip-prinsip ekonomi islam, seperti Abu ‘Ubayd, Ibn Khaldun, al-Ghazali.

Masa Kemunduran (1500 - 1950 M)

  Dalam masa ini terjadi stagnasi perkembangan ekonomi islam. Hal tersebut disebabkan dari runtuhya kekhalifahan islam yang digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Imperialis, yang mengusung ekonomi konvensional, baik itu sosialis, kapitalis, klasik, ataupun neoklasik.

Masa Kesadaran Kembali (1950 M - Sekarang)

  Konsep ekonomi islam muncul kembali di tengah umat muslim setelah kegagalan ekonomi konvensional untuk membuat seluruh umat sejahtera (ditandai dengan adanya ketimpangan antar negara kaya dan negara msikin) dan juga kesadaran kembali mereka akan ketidaksesuaian ekonomi konvensional dengan prinsip-prinsip islam. Dimulai dari diselenggarakannya Konferensi International Ilmu Ekonomi Islam I di Mekkah pada Februari 1976, ekonomi islam telah dan terus berkembang secara signifikan. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari banyaknya institusi dan produk ekonomi yang sudah bernafaskan islam (seperti perbankan, asuransi, dan pasar modal syariah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), sukuk, dll) di banyak negara, baik negara muslim maupun nonmuslim. Bahkan akhir-akhir ini telah dibentuk dewan zakat di regional asia tenggara.

  Selain dari segi teknis penerapan, ekonomi islam juga berkembang dalam tataran akademis. Banyak forum dan konferensi internasional yang membahas tentang reformulasi ekonomi islam guna menghadapi tantangan ekonomi dunia saat ini, seperti Forum Ekonomi Islam Dunia (WIEF) yang telah terselenggara empat kali. Dengan adanya ekonom islam, ukhuwah diantara negara muslim atau mayoritas muslim terjalin dalam organisasi internasional, seperti OIC, ICCI, dan ICDT.

  Dari dalam negeri, perkembangan ekonomi islam sudah dimulai sejak tahun 70-an. Namun perkembangan mulai marak pada dekade 90-an. ketika terbentuk Bank Muamalah. Di bidang praktis, ekonomi islam sudah diterapkan dalam banyak institusi, pasar, dan instrumen ekonomi. Hadirnya prinsip-prinsip islam di tengah ekonomi Indonesia telah terbukti mendukung sektor riil dan membawa angin segar bagi perekonomian.

  Sedangkan dalam tataran akademis, ekonomi islam telah berkembang secara signifikan. Terbukti dari terbentuknya organisasi IAEI, yang terus melakukan kajian-kajian serius seputar perkembangan ekonomi Islam, dan juga dari dibukanya prodi ekonomi islam di beberapa universitas serta kuliah-kuliah informal ekonomi islam di beberapa perguruaan tinggi, termasuk di kampus kita tercinta. Uraian diatas adalah sekilas mengenai ekonomi islam, bagi yang berminat untuk lebih memahami ekonomi islam dapat mengunjungi perpustakaan SEF atau mengikuti kuliah informal ekonomi islam (KnKEI) apabila nanti telah dibuka. (Yanuar)
 

Palestina, Bagaimana Engkau Kini?

  A woman told the cloud: cover my beloved

  For my clothing is drenched with his blood.

  If you are not rain, my love

  Be tree, sated with fertility, be tree

  If you are not tree, my love

  Be stone, saturated with humidity, be stone

  If you are not stone, my love

  Be moon, in the dream of the beloved woman, be moon.

  (So spoke a woman to her son at his funeral) 

  Petikan puisi diatas merepresentasikan kesengsaraan Bangsa Palestina dibawah kebejatan penjajahan Israel. Sudah enam puluh tahun lebih, Bangsa Yahudi lewat propaganda Zionismenya, menindas dan mengusir Bangsa Palestina dari tanah airnya. Ratusan bahkan ribuan rakyat Palestina telah menjadi korban kebejatan dari kecongkakan dan keserakahan Yahudi. Tidak hanya muslim, tetapi juga muslimah dan anak-anak Palestina, yang disiksa, dianiaya, dan dibunuh secara keji dan tidak manusiawi.

  Sejak Bangsa Yahudi melakukan invasi ke tanah para nabi ini, tatanan kehidupan Bangsa Palestina di berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial masyarakat, budaya, politik, yang tadinya masih rapuh menjadi semakin parah dan hancur luluh lantak. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang amat menyedihkan, wilayah teritorial yang semakin menyempit, dan perpecahan internal Bangsa Palestina, mewarnai sejarah perjalanan panjang Palestina dalam memperjuangkan hak mereka melawan kekejaman rezim zionis Israel. Berikut sekilas perkembangan tatanan kehidupan Palestina di bawah jajahan Israel selama enam puluh tahun.

Perjuangan Politik untuk Kebebasan

  Sudah sejak dari awal penjajahan Israel, Bangsa Palestina, dibantu bangsa Arab lainnya, berjuang untuk mempertahankan haknya melalui peperangan. Namun, dikarenakan oleh bantuan dari AS, perlawanan Bangsa Palestina selalu mengalami kegagalan dan wilayah yang dikuasainya malah semakin menyempit. Hingga kini setelah melalui berbagai macam petempuran, Bangsa Palestina hanya menempati Jalur Gaza dan sebagian Tepi Barat. PBB yang dianggap sebagai representasi dari dunia internasional seolah kehilangan fungsinya. Berbagai resolusi DK PBB dan pakta-pakta internasional dianggap angin lalu oleh Israel. Di tengah semua kemelut ini, terjadi perpecahan di tubuh Bangsa Palestina, antara Hamas yang radikal dan Fatah yang lebih moderat. Konflik tersebut dipicu oleh Perjanjian Oslo (yang mengakui berdirinya Israel sebagai negara yang sah) yang secara sepihak disetujui oleh PLO tanpa pertimbangan Hamas.

  Proses damai antara Palestina dan Israel terus berlangsung, dari mulai perjanjian Oslo, Pertemuan Kamp David, dan inisiatif-inisiatif perdamaian lainnya.Hingga beberapa waktu lalu ada secercah harapan pengembangan dari proses damai sebelumnya (yang disebut kesepakatan Peta Jalan Damai), yaitu dengan memberikan wilayah teritorial Palestina sebelum pertempuran tahun 1967 dan menarik semua tentara Israel di wilayah tersebut. Wilayah tersebut adalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina. Namun, pihak Israel yang telah menyetujui kesepakatan tersebut secara ironi karena ketamakannya melanggar kesepakatan tersebut. Israel telah berjanji dalam kesepakatan itu untuk menghentikan pembangunan pemukiman termasuk menghancurkan sejumlah pos-pos pemeriksaan di wilayah pendudukannya di Tepi Barat, tetapi Israel malah dengan sengaja membuka tender bagi pembangunan pemukiman baru dan menambah jumlah pos-pos pemeriksaan baru sebagai ganti dari pos-pos yang telah mereka hancurkan.

Stagnansi Perkembangan Ekonomi

  Dari catatan Bank Dunia, disebutkan bahwa pertumbuhan perekonomian Bangsa Palestina ketika dijajah oleh Israel tidak jauh berbeda dari ketika masih dibawah kontrol Inggris. Bahkan, apabila diliat indikator ekonomi lainnya (seperti tingkat pengangguran), kondisi ekonomi dibawah jajahan Israel lebih buruk. Sejumlah laporan mengungkapkan tentang meningkatnya penderitaan yang dialami oleh ribuan keluarga di Tepi Barat dan Jalur Gaza akibat kekejaman Israel hingga menyentuh kepada hal-hal mendasar dalam kehidupan.

  Kondisi ekonomi yang sudah hancur itu menjadi semakin parah ketika parpol miltan Hamas memenangkan pemilu legislatif pada tahun 2006. Sumber keuangan, yang berasal dari alokasi penerimaan pajak dari rakyat Palestina yang dipungut oleh Israel, dihentikan. Kucuran-kucuran dana dari kelompok negara kuartet (AS, Rusia, PBB dan Uni Eropa) dihentikan sampai pemerintahan Hamas mengakuikedaulatan negara Israel. Dalam kuun waktu itu, sumber keuangan untuk membiayai pemerintahan berasal dari bantuan negara-negara Timur Tengah, Lembaga Islam serta tokoh perseorangan yang bersimpati dengan perjuangan negara ini.

  Awal 2008 lalu, sudah ada secercah harapan akan adanya kemungkinan perbaikan kondisi ekonomi dengan adanya konferensi donor internasional yang menjanjikan lebih dari US $7.7 miliar bantuan pada pemerintah Palestina. Namun, bantuan tersebut akan sia-sia belaka jika pemerintah Israel terus melakukan blokade di Jalur Gaza. Melihat kemunafikan dan ketamakan Israel selama ini, tidak diragukan bahwa Israel akan berusaha untuk menghalangi pemulihan ekonomi Palestina.

Keprihatinan Sosial Masyrakat dan Tumbuhnya Budaya

  Senada dengan keadaan ekonomi yang porak poranda, kondisi sosial masyarakat Palestina pun sangat menyedihkan. Rakyat Palestina di sepanjang Jalur Gaza dan Tepi Barat mengalami penderitaan baik secara fisik maupun batin. Penderitaan fisik rakyat palestina tidak hanya berasal dari kemiskinan yang merajarela, tetapi juga berasal dari penyiksaan, penteroran, dan penganiayaan setiap hari. Pejuang lelaki palestina dibantai dan dibunuh dengan cara yang keji, perempuan palestina dilecehkan oleh tentara Israel, anak-anak palestina dipenjara dan diperlakukan seperti binatang.

  Hasil dari tempaan perjuangan melawan zionis telah melahirkan generasi pejuang kebudayaan melalui berbagai macam bentuk karya seni. Karya seni dijadikan sebagai media pengobar semangat perjuangan. Banyak lukisan yang menggambarkan perjuangan melawan Israel yang membangkitkan semangat juang para syuhada untuk tetap berjuang. Para sastrawan lahir mengobarkan semangat perjuangan dengan puisi dan karya sastranya yang epik. Seperti puisi karya Mahmoud Darwish berjudul yang berjudul ”Under Siege” diatas, yang mengkisahkan kesedihan seorang perempuan yang kehilangan putranya dalam gempuran zionis Israel.

 Itulah gambaran warna kehidupan yang mengiringi perjuangan Bangsa Palestina selama enam dekade melawan zionisme Israel. Begitu banyak kepedihan dan penderitaan yang dialami Bangsa Palestina. Kita patut bersyukur kejadian itu tidak menimpa Indonesia dan berusaha semampu kita untuk dapat membantu mengurangi penderitaan mereka. Karena penderitaan rakyat Palestina merupakan penderitaan kita semua sebagai sesama muslim sebagaimana yang disampaikan Rosul, bahwa satu muslim dengan muslim yang lainnya adalah bagaikan satu tubuh, satu bagian terluka, maka sekujur tubuh merasakan sakitnya. Semoga Allah SWT membalas amal perbuatan kita. Amin. (Yanuar) 

Dr. Muhammad Umar Chapra (Pakar Ekonomi Islam Internasional IDB Jeddah)

Adam Smith, J.S.Mill, dan David Ricardo adalah nama-nama yang tak asing lagi bagi pendengaran kita. Dan akan sangat janggal terdengar di telinga bila kita masih bertanya siapa mereka. Karena hampir setiap hari kita bergelut dengan mereka melalui pemikiran-pemikiran yang terbingkai dalam konteks ekonomi (ekonomi konvensional). Melalui dialektika pemikiran-pemikiran merekalah ekonomi konvensional bisa berkembang hingga saat ini.

Terkait dengan negasi suatu istilah, jika kita berbicara mengenai ekonomi konvensional pasti akan ada yang disebut ekonomi nonkonvensional atau yang lebih popular dikenal sebagai ekonomi Islam (syariah). Seperti halnya ekonomi konvensional yang berkembang melalui para pemikirnya sebagai motivator, ekonomi syariah juga bisa eksis karena ada para idealis yang bersedia memberi sumbangsih pemikiran terhadap teori-teori ekonomi syari’ah sehingga bisa memperkuat eksistensi ekonomi syari’ah itu sendiri.

Berbeda dengan para tokoh ekonomi konvensional yang keberadaannya terasa dekat dengan memori kita, khususnya mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Busines (FEB), tokoh-tokoh ekonomi syariah masih seperti orang asing bagi sebagian besar mahasiswa FEB. Untuk itulah, melalui rubrik “PROFIL EKONOM MUSLIM” ini, diharapkan kesenjangan pengetahuan seperti yang tersebut di atas bisa lebih diminimalisir.

Umar Chapra, beliau adalah pakar ekonomi Islam yang eksistensi dan kwalitas pemikirannya sudah dikenal dan diakui oleh dunia internasional. Nama asli beliau adalah Muhammad Umer Chapra. Seorang pakar dan penasihat ekonomi-perbankan berkebangsaan Pakistan, tetapi lahir di Bombay pada tahun 1934. Dan beliau memperoleh gelar MBA dari Universitas Karachi dan Ph.D. dari Universitas Minnesota.

Pada tahun 1999, secara langsung beliau memberikan pelayanan sebagai Research Advisor at the Islamic Research & Training Institute (IRTI) pada the Islamic Development Bank (IDB). Sebelum bergabung di sana, beliau telah bekerja sebagai Senior Economic Advisor di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) pada tahun 1965. Selain itu, beliau juga pernah mengajar mata kuliah ekonomi pada University of Wisconsin Platteville dan University of Kentucky, Lexington, Amerika.

Di balik semua karirnya itu, ternyata beliau adalah juga seorang penulis yang banyak mengupas tentang praktek-praktek internasional dengan referensi kebijakan teori dan praktek ekonomi Islam. Melalui berbagai jenis tulisannya lah beliau berusaha memberikan suguhan alternatif solusi praktek ekonomi internasional, yaitu ekonomi syari’ah. Beliau memberikan kontribusi terhadap ekonomi Islam dalam bentuk buku, monograph, paper, dan book reviews sudah lebih dari tiga dekade.

Adapun buku-buku yang telah ditulisnya adalah sebagai berikut:

  1. Islam and Economic Development: a strategy for development with justice and stability (1993). Tentang perkembangan ekonomi Islam.  
  2. Islam and the Economic Challenge (1992). Tentang tantangan ekonomi Islam
  3. Towards a just monetary system: a discussion of money, banking and monetary policy in the light of islamic teachings (1985). Mendiskusikan permasalahan uang , bank dan kebijakan moneter.
  4. Monetary and fiscal economics of Islam: an outline some major subjects for research (1978). Tentang keuangan dan ekonomi moneter dalam Islam.
  5. Money and banking in an islamic Economy, in monetary and fiscal economics of Islam (1978). Tentang ekonomi dan perbankan Islam.
  6. The Islamic welfare state and its role in the economy, in Islamic perspective. Studies in honour of Abu A’la Mawdudi (1979). Tentang peraturan ekonomi dan kesejahteraan negara islam.
  7. The Future of Economis: an Islamic perspective. (2000).  
  Dan masih banyak buku lainya dan ada beberapa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.  
  Sementara artikel yang ditulis Chapra antara lain:  
  1. Monetary management in an Islamic economy, New Horizon, London, 1994.  
  2. Islam and the international debt problem, Journal of Islamic Studies, 1992.  
  3. The role of islamic banks in non-muslims countries. Journal Institute of Muslim Minority Affair, 1992.  
  4. The need for a new Economic System, Review of Islamic Economics/Mahallath Buhuth al-Iqtishad al-Islami, 1991.  
  5. The Prohibition of Riba in Islam: an Evaluation of Some Objections, American Journal of Islamic Studies, 1984.
(Anita)

Wednesday, September 17, 2008

Bereksistensi dengan Kekuatan Visi

Mengapa kita ada dan untuk apa keberadaan kita?

Dari sekian miliar jiwa, mungkin hanya segelintir orang yang mau berpikir tentang hal itu. Dan dari segelintir orang tersebut, mungkin hanya sedikit pula yang berhasil menemukan jawabnya.

Mampukah kita menjadi bagian dari yang sedikit itu?

Kemungkinan itu pasti jika kita menyadari esensi kita sebagai manusia dengan menentukan visi dan misi sejati dalam hidup ini. Sebagai seorang muslim, sudah sangat jelas bahwa kesejatian visi itu terletak pada alam akhirat (surga). Telah banyak contoh yang ditinggalkan oleh tokoh-tokoh terdahulu yang mereka telah berhasil menyempurnakan hidupnya karena kuatnya visi dan misi hidup mereka, sehingga sangat tidak logis jika kita merasa kehilangan teladan dalam pencetakan diri seorang muslim.

Khadijah binti Khuwailid, beliau merupakan salah satu wanita yang memiliki keteguhan hati dan kebulatan tekad untuk mewujudkan visi utamanya yaitu menggapai keridhaan Allah dan Rasul Nya. 

Khadijah yang dikenal sebagai “wanita suci”, rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi tergapainya misi dan visi hidupnya. Segala penderitaan selama mendampingi dakwah Rasulullah SAW beliau lalui dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta keteguhan seorang istri. Beliau selalu berlapang dada, ketika sang suami harus menjauh darinya untuk berkhalwat di gua Hira’. Harta benda yang beliau miliki, beliau ikhlaskan untuk berjuang sepenuhnya di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang beliau lakukan pada waktu terjadi pemboikotan terhadap kaum muslim secara ekonomi, politik, dan sosial selama tiga tahun beliau tampil mengeluarkan segala yang dimilikinya untuk meringankan beban kaum muslim.

Apa yang dikorbankan oleh Khadijah bukanlah sesuatu yang sia-sia karena beliau berhasil mewujudkan visinya, sebagaimana sabda Rasulullah: “Sebaik-baik wanita surga adalah Maryam binti ‘Imran dan Khadijah binti Khuwailid” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja untuk mengatakan: ‘Kami beriman’, sedang mereka tida diuji?” (QS. Al-Ankabut :2)

Demikian juga kita belum dikatakan sebagai manusia yang memiliki wujud diri secara utuh sebelum kita tahu visi dan misi hidup kita. Dan visi misi tersebut belum dikatakan ada jika kita tidak berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Wallahu a’lam bishawab. 
[Anita]
 


Muhammad Amin Al Husaini dan Kemerdekaan RI

Syekh Muhammad Amin Al Husaini seorang ulama yang kharismatik, mujahid, mufti Palestina yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap kaum muslimin serta negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia, walaupun pada saat itu beliau sedang berjuang melawan imperialis Inggris dan Zionis yang ingin menguasai kota Al Quds, Palestina. 

Beliau memiliki nama lengkap Muhammad Amin bin Muhammad Thahir bin Musthafa Al Husaini gelar Mufti Falestin Al Akbar (Mufti Besar Palestina), lahir di Al Quds pada tahun 1893. Diangkat menjadi mufti Palestina pada tahun 1922 menggantikan saudaranya Muhammad Kamil Al Husaini.

Sebagai ulama yang berilmu dan beramal, memiliki wawasan yang luas, kepedulian yang tinggi, Syekh Muhammad Amin Al Husaini mengetahui dan merasakan penderitaan kaum muslimin di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia akibat penjajahan yang dilakukan kaum kolonial.Dukungan terhadap kaum muslimin dan negeri-negeri muslim untuk merdeka dari belenggu penjajahan senantiasa dilakukan oleh Syekh Muhammad Amin Al Husaini, termasuk dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. 

Ketika tidak ada suatu negara dan pemimpin dunia yang berani memberi dukungan secara tegas dan terbuka terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia, maka dengan keberaniannya, Syekh Muhammad Amin Al Husaini mufti Palestina menyampaikan selamat atas kemardekaan Indonesia. 

M. Zein Hassan Lc. Lt. sebagai pelaku sejarah, didalam bukunya yang berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1980, hal. 40, menjelaskan tentang peranserta, opini dan dukungan nyata Syekh Muhammad Amin Al Husaini secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia :

“Sebagai contoh, pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al Husaini (melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan.” 

Syekh Muhammad Amin Al Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia” dan memberi dukungan penuh. Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat dinegeri ini. Sehingga tidak mengherankan ada suara yang sumir, minor, bahkan sinis ketika ada anak negeri ini membantu perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka, membebaskan tanah airnya dan masjid Al Aqsha dari belenggu penjajah Zionis Israel. 

“Kenapa kita mikirin negeri Palestina? Negeri sendiri saja banyak masalah!”. Itulah ungkapan orang yang egois, orang yang berpikiran parsial, orang yang wawasannya hanya dibatasi teritorial yang sempit. Kalimat tersebut diatas merupakan gambaran orang yang tidak pandai bersyukur, orang yang tidak pandai berterima kasih, ibarat pepatah mengatakan, ”seperti kacang lupa dengan kulitnya”.

Disinilah pentingnya mengenal dan mengetahui sejarah, sehingga tidak mudah dibodohi orang, ada kata-kata hikmah, “orang yang tahu sejarah akan punya ‘izzah”. “Orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling banyak berterima kasih kepada manusia”. (HR. Thabrani). 

“Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.(HR. Abu Daud). Seharusnya kita berfikir dan merenung, kenapa Indonesia, negeri yang subur dan memiliki sumberdaya alam yang melimpah, sumber daya manusia yang potensial tidak dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyat? Mungkin salah satu sebabnya adalah karena kita tidak pandai bersyukur, tidak pandai berterima kasih.

Perhatikanlah peringatan Allah dalam Al Qur’an: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".(QS: Ibrahim/14:7).  

Setelah berjuang tanpa kenal lelah, Syekh Muhammad Amin Al Husaini wafat pada tanggal 4 Juli 1974, di makamkan di pekuburan Syuhada’, Al Maraj, Beirut, Libanon. Kaum muslimin dan tokoh pergerakan Islam menangisi kepergian ulama pejuang, pendukung kemerdekaan Indonesia, mufti pembela tanah waqaf Palestina, penjaga kemuliaan masjid Al Aqsha. 
Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahannya, menerima amal jihadnya dalam membela tempat suci kaum muslimin, kota Al Quds.
(Sumber: www.kispa.org tulisan ini sudah mendapat izin langsung darioleh : H. Ferry Nur S.Si, Sekjen KISPA)

Angga Antagia : Mahasiswa tak Sekadar Kuliah

“If your actions inspire the others to do more, dream more, and become more, you are a leader.” 

(John Quick Adam – Presiden ke-6 AS)


Pernah dengar mahasiswa disebut-sebut sebagai agen perubahan? Begitulah predikat yang melekat pada kita, sekaligus merupakan tanggung jawab yang tidak main-main. Untuk perubahan itu, ternyata tak cukup dengan menjadi mahasiswa kutu buku yang nongkrong di perpus melulu. Bersosialisasi dan berorganisasi juga penting, tentunya tanpa meninggalkan tugas utama kita, yaitu kuliah. Hal itu dibuktikan oleh salah satu mahasiswa FEB UGM, I.B.P. Angga Antagia.

Sejak duduk di bangku kuliah, mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi angkatan 2004 ini pernah menimba pengalaman berorganisasi di antaranya di BPPM Equilibrium, JMME, SEF, Himiespa (Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi), dan FoSSEI (Forum Silaturahmi dan Studi Ekonomi Islam). Menurutnya, banyak manfaat yang didapat dari berorganisasi. Pertama yaitu belajar menjadi dewasa dan menjadi pemimpin. “Ketika kita mengatur sebuah tim dengan berbagai tipikal orang dan bertemu orang dengan tipe yang berbeda dengan kita, itu bisa memacu kearifan berpikir, sehingga kita bisa lebih open mind,” ujarnya.

Manfaat kedua yang ia rasakan adalah belajar mengenai manajemen prioritas. Misalnya dalam satu hari kita memiliki beberapa agenda di organisasi yang berbeda. Masalah manajemen prioritas adalah bagaimana kita mendahulukan sesuatu yang paling penting pada saat itu. Sedangkan yang ketiga adalah jaringan. Dengan berorganisasi kita dapat lebih mengenal banyak orang yang nantinya dapat memberikan berbagai masukan maupun informasi yang bermanfaat bagi diri kita sendiri maupun amanah yang kita emban.

Aktif di berbagai organisasi tidak membuat prestasi akademik Angga menjadi ketinggalan. Selain tetap belajar dengan tekun, justru berdasarkan pengalamannya, ia mendapatkan IP (Indeks Prestasi) cum laude ketika sedang aktif-aktifnya berorganisasi. Angga yakin atas apa yang Allah SWT janjikan dalam firman-Nya bahwasanya jika kita menolong agama Allah, maka Dia akan menolong dan menguatkan kedudukan kita. “Aktif di manapun, jika diniatkan untuk ibadah dan menolong agama Allah, pasti akan dapat kemudahan,” ucapnya mantap.

Kepada para mahasiswa baru, Angga tak lupa memberikan pesan tentang pentingnya niat. “Kalau kuliah sekedar untuk bekerja, punya rumah bertingkat, mobil berkilat, uang berlipat-lipat, dan istri cantik memikat, itu sih gampang, hehehe…” ujarnya sambil tertawa santai, “akan tetapi jangan lupa bahwa tugas kita di dunia ini adalah ibadah.” Lalu apapun yang kita lakukan nantinya harus sesuai dengan prinsip manfaat. Semoga… [Maisya]

Ekonomi Bangsa, Ekonomi Syariah dan SEF UGM

Satu abad kebangkitan nasional pada 20 Mei 2008 lalu masih terngiang-ngiang di telinga kita. Tidak lama lagi momen historis Sumpah Pemuda pada 10 windu silam yang menandai bangkitnya rasa persatuan di tanah air Indonesia akan kita jumpai. Kemudian, secara de facto dan de jure bangsa Indonesia sudah ada selama 63 tahun. Selanjutnya, telah 1 dasawarsa lamanya bangsa Indonesia melewati momentum reformasi—momentum perbaikan bangsa. 

Memang tahun 2008 penuh dengan angka-angka bersejarah yang memberi pengaruh pada perjalanan hidup bangsa Indonesia hingga sekarang. Namun terlepas dari masa-masa historis yang telah berlalu tersebut, sejauh mana perubahan yang telah kita rasakan sebagai rakyat Indonesia. Adakah kenyamanan, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan yang kita rasakan? Atau apakah kondisi tidak jauh berbeda dibanding sebelum momen-momen bersejarah tersebut? Mungkin tiap kita punya pandangan masing-masing terkait hal ini. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berada dalam keadaan yang miris khususnya permasalahan ekonomi bangsa.

Fakta menunjukan bahwa di negeri yang bergelar gemah ripah loh jinawi masih ada sekitar 37,17 juta jiwa penduduk miskin, 10,54 juta jiwa pengangguran, dengan tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,37[1] dimana ada segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan yang luas, tanpa penghasilan.[2]Apa yang salah sebenarnya? Kita mempunyai SDM dan SDA yang berlimpah. Namun mengapa bangsa ini masih saja berada dalam keterpurukan selama bertahun-tahun lamanya?

Memang secara de facto dan jure bangsa Indonesia sudah dinyatakan merdeka 63 tahun yang lalu dan telah melewati bertahun-tahun momentum sejarah: reformasi, kebangkitan nasional, hingga sumpah pemuda. Petanyaannya, apakah bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka dan berdaulat di negeri sendiri? Amien Rais mengatakan bahwa “kemerdekaan” dan “kedaulatan” yang diberikan tanda petik pertanda bahwa kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia masih semu, belum sepenuhnya kita miliki.[3]

Amien Rais (2008) mencontohkan fakta-fakta yang mencerminkan bahwa negeri ini masih belum merdeka dan berdaulat sepenuhnya. Ambil contoh dalam bidang ekonomi. Produksi minyak sekitar 1 juta barrel/hari sudah di dominasi asing, muatan laut Indonesia sebesar 46,8% dikuasai oleh kapal berbendera asing, lebih dari 50% perbankan nasional di kuasai oleh asing.

Tidak perlu disangkal lagi, walaupun di atas kertas bangsa ini menyatakan menganut sistem ekonomi pancasila, tetapi di lapangan menunjukkan liberalisme dan kapitalisme begitu mempengaruhi akan kebijakan perekonomian bangsa. Cengkraman konglomerat asing tidak terbendung untuk melakukan kebijakan ekonomi, sehingga orientasi ekonomi bangsa bukan lagi untuk kepentingan kemakmuran rakyat, tetapi sudah beralih pada kepentingan bangsawan asing. 

Sebelum berlarut-larut membicarakan keburukan sistem ekonomi yang ada sekarang. Akan lebih bijak rasanya jika kita fokuskan diri untuk mencari solusi permasalahan yang sedang terjadi. Mencari alternatif dari mekanisme ekonomi yang ada sekarang jauh lebih baik dan lebih penting dari pada kita menyibukkan diri mengkritik bangsa asing. Di saat timbulnya banyak permasalahan ekonomi, baik bangsa maupun dunia. Ketika kapitalisme semakin menunjukkan titik lemahnya dan sosialisme tak mungkin lagi bangkit dari kehancurannya, maka sistem ekonomi islam atau yang juga dikenal dengan ekonomi syariah semakin mencuat namanya ke permukaan sebagai mainstream atau pilihan baru sistem ekonomi. 


Ekonomi Syariah

Kalau kita lihat, sebenarnya ada dua aliran ekonomi yang sedang berkembang di Indonesia maupun dunia. Pertama, ekonomi konvensional yang pengelolaannya cenderung pada sistem ekonomi kapitalisme. Kedua, ekonomi islam atau syariah yang berdasar pada Al Qur’an dan Hadits sebagai pondasi ajaran islam. Jika ingin melihat perbedaan lebih mudahnya, bisa diperhatikan pada 2 jenis bank yang ada di Indonesia, yaitu bank konvensional dan bank syariah. 

Dari sisi pengelolaannya terlihat jelas, terutama dalam hal pembagian keuntungan. Konvensional terkenal dengan sistem bunga yang mana oleh sebagian para ulama ditetapkan bahwa bunga itu sama saja dengan riba. Sementara bank syariah populer dengan sistem bagi hasilnya yang menguntungkan kedua pihak, baik itu pihak bank maupun nasabah sehingga tidak ada yang terzhalimi. Namun terlepas dari hal itu dan juga harus menjadi catatan penting bagi kita semua bahwa perbankan syariah hanyalah salah satu bentuk implementasi dari sistem ekonomi islam, bukan sebagaimana paradigma yang banyak berkembang di tengah masyarakat bahwa ekonomi islam adalah perbankan syariah. 


Shariah Economics Forum (SEF) FEB


Sering kali kita melakukan dikotomi terhadap ilmu yang dipelajari, misalnya sesuatu yang tabu rasanya jika mahasiswa perguruan tinggi negeri umum mempelajari ilmu keislaman termasuk ekonomi islam atau ekonomi syariah. Padahal tidak ada masalah dengan itu semua. Ketika kita cenderung didoktrinisasi dengan mata kuliah yang lebih dekat kepada ekonomi konvensional, perlu kiranya jika dibarengi dengan pemahaman terhadap aliran sistem ekonomi lainnya, termasuk ekonomi syariah. Sehingga paradigma berpikir kita akan bisa lebih luas dan tidak terfokus pada salah satu school of thought yang ada. 

Maka, tidak ada salahnya jika kita sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis untuk mencoba mengenal lebih dalam mengenai ekonomi islam ini. Why? Karena fakta sejarah telah menunjukan kepada dunia pada 14 abad yang lalu bahwa Islam telah memberikan kontribusi bagi peradaban manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Artinya, ekonomi Islam pun secara ilmiah dapat dibuktikan kontribusinya secara lebih luas. 

Bahkan, kalaulah boleh jujur dikatakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang banyak dianut saat ini sebenarnya para tokohnya banyak terinspirasi dari ilmuan dan ekonom muslim. Sebut saja Adam Smith yang dikenal dengan Bapak Ekonomi Konvensional, isi dari bukunya yang populer The Wealth of Nation, terinspirasi dari buku Al Amwalnya Abu Ubaid (838 M). 

Di sini, di FEB UGM yang kita cintai ini, teman-teman bisa menemukan dan mengenal lebih dalam tentang ekonomi syariah pada Shariah Economics Forum (SEF). Mari belajar ekonomi syariah dengan harapan kepahaman kita akan ekonomi syariah bisa menjadikannya solusi atas permasalahan ekonomi bangsa ini. Lets join with us… (M. Zia Anggiawan, Rijadh Djatu Winardi, Rizki Febriana)



[1] “Rakyat Belum Sejahtera”, Kompas, 29/12/2007. Ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2007 cukup besar, setelah sebelumnya pada tahun 2006 berkisar pada kisaran 0,34. 

[2] Maarif, Ahmad Syafii. Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa. Republika, 5 Agustus 2008. 

[3] Rais, Amien. 2008. Agenda-Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta: PPSK Press.


Yang Baru dari Mahasiswa Baru

Tahun akademik 2008-2009 sudah di depan mata. Kesibukan-kesibukan untuk menyambut tahun akademik baru pun tampak di sana-sini. Mulai dari jajaran akademik di universitas dan fakultas, dekanat, dosen, mahasiswa senior, dan yang tak kalah sibuk tentunya adalah saudara-saudara kita yang baru saja lulus dari jenjang pendidikan SMA dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ya, saudara-saudara kita itu akan menghadapi lembaran baru dalam hidupnya, memasuki fase yang lebih tinggi dengan segala suka, duka, dan tantangan. Mereka akan menyandang status baru sebagai “mahasiswa”.

Hal baru bagi mahasiswa baru (maba) merupakan perubahan, dan kita tahu bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan. Hanya perubahan sendiri yang tidak pernah berubah. Hal itu juga lah yang dialami oleh maba ketika memasuki dunia kampus. Mungkin memori dan romansa semasa SMA masih begitu terkenang dalam hati para maba. Namun, hidup terus bergulir dan teman-teman maba harus mempersiapkan diri untuk memenuhi dan mencapai masa depannya, dan juga karena mereka adalah sang harapan baru.

Harapan Baru
Status baru yang disandang oleh mereka tentunya menghadirkan harapan baru. Harapan baru tersebut tak hanya muncul dari mahasiswa baru, namun juga dari mahasiswa senior. Bagi aktivis kampus, tahun akademik baru menghadirkan secercah harapan akan kader yang militan dan solid serta memiliki kemampuan manajemen organisasi yang baik. Lembaga mahasiswa di kampus, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Lembaga Kemahasiswaan (LK), maupun Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) membutuhkan regenerasi dan pembaharuan yang dilakukan oleh golongan muda dalam menjalankan peran strategisnya dalam penyelenggaraan kegiatan dan aktivitas yang bersifat kontributif dan bermanfaat bagi masyarakat.

Lalu, bagaimana antusiasme maba UGM 2008 ini untuk mengikuti organisasi kemahasiswaan di kampus? Dari survey kecil-kecilan yang dilakukan tim redaksi terhadap 32 maba UGM secara acak, sebanyak 26 maba menyatakan berminat untuk ikut organisasi, sementara enam orang mengatakan tidak berminat. Sebagai catatan, survey ini tidak dimaksudkan untuk mencerminkan keseluruhan populasi maba UGM 2008.

Tim Redaksi juga mengadakan wawancara dengan beberapa maba. Ternyata, meskipun kebanyakan di antara mereka tidak terlalu aktif dalam kegiatan dan organisasi di sekolah dulu, mereka mengatakan memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Deni (Tekno Pertanian’08) misalnya, mengatakan bahwa ia tertarik untuk bergabung dengan organisasi di bidang jurnalistik dengan untuk menyalurkan hobinya. Dahulu, tidak ada suatu wadah organisasi di sekolah yang dapat mengakomodasi hobinya tersebut sehingga akhirnya ia menuangkan hobi menulis dalam blognya.

Lain lagi dengan Wahyu (Administrasi Negara’08), maba yang dulunya aktif di OSIS ini memiliki keinginan besar untuk bisa bergabung dengan organisasi BEM UGM. Alasannya, ia ingin melatih jiwa organisasi dan kepemimpinannya agar mampu memberikan manfaat dari ilmu yang diperolehnya di lingkungan masyarakat.

Motivasi tiap maba untuk turut aktif dalam kegiatan-kegiatan di kampus memang berbeda-beda, untuk pribadi sendiri atau juga untuk orang banyak. Tapi, ada hal yang bisa kita lihat secara positif, yaitu semangat dan kebanggaan mereka untuk menyongsong harapan baru dalam menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa adalah orang-orang pilihan sejarah untuk melakukan tugas mulia tanpa pamrih. Perguruan tinggi tidak mencetak orang-orang pintar yang tumpul berkarya bagi lingkungannya. Sudah sepantasnya dan sepatutnya mahasiswa baru tidak hanya terjebak dalam jubah identitas dan status, melainkan belajar memaknai apa arti menjadi seorang intelektual.

[Harri, Lingga]