Saat ini kita sering mendengar dan akrab dengan perbankan syariah. Sebuah institusi keuangan yang menjalankankan fungsinya dengan berlandaskan syariah islam. Berbeda dengan tiga tahun yang lalu misalkan, mungkin diantara kita masih asing dengan institusi ini bahkan kalaupun sudah mengenal, tidak jarang yang menyangsikan akan keberadaannya. Namun yang jelas bahwa keberadaan perbankan syaariah sampai saat ini masih terus tumbuh dan berkembang hingga ke pelosok negeri dengan berbagai macam fasilitas yang ditawarkan.
Fungsi utama perbankan secara keseluruhan adalah sebagai lembaga intermediasi yang memfasilitasi pembiayaan bagi para nasabah yang memiliki peluang untuk maju dengan cara mengumpulkan dana dari para aghniya (orang kaya) untuk menempatkannya di bank. Tak lain halnya dengan perbankan syariah, justru fungsi ini lebih menonjol dari perbankan konvensional. Upaya untuk memutarkan dana dari pra aghinya kepada para calon aghniya (nasabah) sangat sesuai dengan firman Allah surat al Hasyr ayat 7 : ”supaya harta itu tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya diantara kamu sekalian.” Dari potongan ayat tersebut sangat jelas bahwa Allah menganjurkan tentang sebuah mekanisme distribusi kekayaan diantara manusia dan fungsi ni dilaksanakan oleh perbankan (bank syariah).
Kekhasan Bank Syariah
Meskipun bank syariah sudah bukan merupakan barang asing lagi bagi kita, tetapi bisa jadi hakikat atau prinsip kerja bank terutama yang berkaitan dengan pembiayaan (kredit dalam konvensional) masih belum dipahami secara luas. Dalam beberapa kesempatan dalam seminar-seminar ataupun dalam praktek keseharian, acapkali difahami bank syariah hanyalah pembahasa arab-an istilah-isltilah konvensional. Seperti istilah bunga diganti dengan bagi hasil, istilah kredit diganti dengan pembiayaan, dsb. Apakah demikian halnya?
Mari kita sedikit mengkaji terkait dengan kekhasan bank syariah dari sisi produk pembiayaan. Secara garis besar perbankan syariah mempunyai tiga model pembiayaan yang ditawarkan kepada masyrakat. Pertama pembiayaan dengan model jual beli. Kedua, pembiayaan dengan model sewa-menyewa. Dan yang ketiga adalah pembiayaan dengan model partnership (musyarakah dan mudharabah) (bagi hasil). Berikut ilustrasi dari masing-masing model pembiayaan; model pembiayaan jual beli dapat dilaksanakan misalnya ketika sesorang ingin membeli sepeda motor sedangkan uangnya masih belum cukup. Kemudian orang tersebut memasukkan dananya sebagai urbun (uang muka) dan mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk dibelikan sepeda motor dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Setelah itu bank akan membeli barang sesuai dengan pesanan dan menjualnya kepada nasabah yang pembayaran dari nasabah tersebut dilakukan secara angsuran.
Hampir sama dengan model pertama, model pembiayaan yang berprinsip sewa menyewa terjadi apabila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan kepada bank syariah dengan keperluan untuk menyewa took, rumah atau tanah,dsb. Kemudian jika disepakati maka bank syariah akan menyewa tempat yang dimaksud dengan pembayaran cash sehingga bank memiliki manfaat atas barang yang kemudian disewakan kepada nasabah dengan pembayaran cicilan. Untuk model pertama dan model kedua bank syariah menentukan tingkat keuntungan tertentu yang disepakati pihak bank dan pihak nasabah sehingga besaran angsuran akan sama pada setiap bulannya.
Model pembiayaan yang ketiga adalah model pembiayaan partnership (musyarakah dan mudharabah) atau kerjasama. Model pembiayaan ini adalah model pembiayaan yang paling ideal dalam perbankan syariah. Dikatakan ideal karena model pembiayaan ini khusus untuk kegiatan usaha atau aktivitas yang produktif. Dan kesanalah aktivitas perbankan syariah diarahkan, agar masyarakat terfasilitasi untuk berkarya dan bekerja secara produktif hingga menghantarkan kepada kesejahteraan pribadi yang pada gilirannya akan menyebar kepada lingkungan sekitarya. Lalu bagaimana praktik ideal pelaksanaan pembiayaan model partnership (musyarakah dan mudharabah) ini?Berikut sedikit ilustrasinya; misalkan pak ahmad adalah seorang pengusaha roti lapis legit. Dalam perjalanan bisnisnya selama 3 tahun ia menekuni pekerjaan tersebut, ternyata pemesanan terhadap produknya dipasaran sangat ramai hingga pak ahmad merasa kesulitan untuk melayani karena kekurangan alat serta modal untuk memenuhi permintaan pasar. Kemudian pak ahmad datang ke bank syariah untuk mengajukan pembiayaan. Dari pengajuan tersebut, perbankan akan merespon dengan melakukan pengecekkan dan analisa kelayakan usaha.
Setelah dilakukan studi kelayakan oleh bank dan ternyata permohonan kerjasama pembiayaan tersebut disepakati, maka bank akan mengucurkan dana kepada nasabah sebagai bentuk partnership (musyarakah dan mudharabah) (kerjasama). Dari kejasama yang dilakukan ini bank syariah berhak mendapatkan manfaat berupa keuntungan sebesar prosentase tertentu dari pendapatan atas usaha yang dilakukan. Besarnya nisbah merupakan hasil dari kesepakatan antara bank dengan nasabah. Misalnya antara bank dengan pak ahmad telah bersepakat untuk membagi pendapatan atas usaha dengan nisbah (proporsi) 45 : 55. Maksudnya adalah pada setiap bulannya 45% pendapatan adalah hak dari bank dan sisanya 55% dari pendapatan adalah haknya pak ahmad. Misalnya pada bulan pertama pak ahmad mendapat penghasilan sebesar Rp. 5000, 00 maka Rp. 2250,00 adalah hak dari bank sedangkan sisanya Rp.2750,00 adalah hak dari pak ahmad. Jika ternyata bulan kedua ternyata pak ahmad mendapat order sangat banyak karena sedang musim perikahan sehingga pendapatan bulan kedua sebesar Rp. 10000,00 maka yang menjadi dari hak bank adalah sebesar Rp. 4500,00 dan sisanya hak pak ahmad. Ternyata bulan ketiga masuk bulan ramadhan, dan terjadi penurunan pemesanan akibat adanya puasa. Sehingga bulan ketiga pendapatan pak ahmad turun menjadi Rp. 4000,00 maka hak dari bank adalah sebesar Rp. 1800 dan Rp. 2200 adalah hak dari ahmad.
Jika dilihat dari ilustrasi diatas Nampak sekali pendapatan bank tidak flat/tetap. Pendapatan bank juga akan menyesuaikan dengan tingkat pendapatan yang dapat diperoleh nasabah pada bulan tersebut. Mekanisme pembiayaan ini merupakan mekanisme yang paling adil. Dikatakn adil karena mekanisme bagi hasil merupakan mekanisme yang membela dua pihak. Saat nasabah sedang mendapatkan rizki yang melimpah, maka bank syariah juga mendapatkan manfaat yang berimbang. Namun jika bisnis nasabah sedang lesu maka bank syariah-pun juga akan menyesuaikan. Hal ini mengingat perjalanan bisnis mempunyai tiga keadaan. Yaitu untung, rugi dan impas. Tidak mungkin bisnis dijalani akan untung terus ataupun rugi terus, akan tetapi ia sangat fluktuatif. Disinilah letak dari kekhasan bank syariah yang lebih humanis (manusiawi) dibandingkan dengan mekanisme diluar syariah.
Kendala – Kendala
Sungguh luar biasa mekanisme syariah dalam bagi hasil ini. Sebuah sistem yang win – win solution, tidak ada yang dirugikan. Namun apakah perjalanan dari mekanisme bagi hasil ini telah berjalan secara sempurna? Ternyata sistem ini tidak serta merta berjalan mulus. Setidaknya terdapat dua kendala dalam praktek pelaksanaan pembiyaan pola partnership (musyarakah dan mudharabah) yaitu kendala teknis dan kendala mentalitas. Secara teknis kendala itu terjadi manakala nasabah tidak memiliki catatan laporan keuangan sehingga tidak dapat diketahui secara pasti besaran pendapatan. Sehingga pembagian nisbah tidak dapat dilakukan secara konsisten. Kendala berikutnya adalah kendala mentalitas, dimana mindset sebagian besar dari kita masih terkonsep dengan bunga. Sehingga ketika nasabah mendapat pendapatan besar, dia merasa sangat berat untuk membagikan hasil yang sesuai dengan proporsi sehingga cenderung untuk tidak melaporkan hasil secara terbuka. Dan kendala yang kedua ini yang membutuhkan proses lama untuk dapat menyelesaikannya. Alla kuli hal, persoalan ini selesai ketika edukasi ekonomi syariah sudah bisa dipahami. Tugas berat bagi perbankan syariah yang tidak melulu berfikir bisnis tapi juga sosialisasi ekonomi syariah ke masyarakat. Wallahua’lam
M. Dikyah Salaby Maarif dan Edo Segara