Wednesday, October 29, 2008

Bank Syariah Lebih Adil

Saat ini kita sering mendengar dan akrab dengan perbankan syariah. Sebuah institusi keuangan yang menjalankankan fungsinya dengan berlandaskan syariah islam. Berbeda dengan tiga tahun yang lalu misalkan, mungkin diantara kita masih asing dengan institusi ini bahkan kalaupun sudah mengenal, tidak jarang yang menyangsikan akan keberadaannya. Namun yang jelas bahwa keberadaan perbankan syaariah sampai saat ini masih terus tumbuh dan berkembang hingga ke pelosok negeri dengan berbagai macam fasilitas yang ditawarkan.


Fungsi utama perbankan secara keseluruhan adalah sebagai lembaga intermediasi yang memfasilitasi pembiayaan bagi para nasabah yang memiliki peluang untuk maju dengan cara mengumpulkan dana dari para aghniya (orang kaya) untuk menempatkannya di bank. Tak lain halnya dengan perbankan syariah, justru fungsi ini lebih menonjol dari perbankan konvensional. Upaya untuk memutarkan dana dari pra aghinya kepada para calon aghniya (nasabah) sangat sesuai dengan firman Allah surat al Hasyr ayat 7 : ”supaya harta itu tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya diantara kamu sekalian.” Dari potongan ayat tersebut sangat jelas bahwa Allah menganjurkan tentang sebuah mekanisme distribusi kekayaan diantara manusia dan fungsi ni dilaksanakan oleh perbankan (bank syariah).


Kekhasan Bank Syariah


Meskipun bank syariah sudah bukan merupakan barang asing lagi bagi kita, tetapi bisa jadi hakikat atau prinsip kerja bank terutama yang berkaitan dengan pembiayaan (kredit dalam konvensional) masih belum dipahami secara luas. Dalam beberapa kesempatan dalam seminar-seminar ataupun dalam praktek keseharian, acapkali difahami bank syariah hanyalah pembahasa arab-an istilah-isltilah konvensional. Seperti istilah bunga diganti dengan bagi hasil, istilah kredit diganti dengan pembiayaan, dsb. Apakah demikian halnya?


Mari kita sedikit mengkaji terkait dengan kekhasan bank syariah dari sisi produk pembiayaan. Secara garis besar perbankan syariah mempunyai tiga model pembiayaan yang ditawarkan kepada masyrakat. Pertama pembiayaan dengan model jual beli. Kedua, pembiayaan dengan model sewa-menyewa. Dan yang ketiga adalah pembiayaan dengan model partnership (musyarakah dan mudharabah) (bagi hasil). Berikut ilustrasi dari masing-masing model pembiayaan; model pembiayaan jual beli dapat dilaksanakan misalnya ketika sesorang ingin membeli sepeda motor sedangkan uangnya masih belum cukup. Kemudian orang tersebut memasukkan dananya sebagai urbun (uang muka) dan mengajukan pembiayaan kepada bank syariah untuk dibelikan sepeda motor dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Setelah itu bank akan membeli barang sesuai dengan pesanan dan menjualnya kepada nasabah yang pembayaran dari nasabah tersebut dilakukan secara angsuran.


Hampir sama dengan model pertama, model pembiayaan yang berprinsip sewa menyewa terjadi apabila ada nasabah yang mengajukan pembiayaan kepada bank syariah dengan keperluan untuk menyewa took, rumah atau tanah,dsb. Kemudian jika disepakati maka bank syariah akan menyewa tempat yang dimaksud dengan pembayaran cash sehingga bank memiliki manfaat atas barang yang kemudian disewakan kepada nasabah dengan pembayaran cicilan. Untuk model pertama dan model kedua bank syariah menentukan tingkat keuntungan tertentu yang disepakati pihak bank dan pihak nasabah sehingga besaran angsuran akan sama pada setiap bulannya.


Model pembiayaan yang ketiga adalah model pembiayaan partnership (musyarakah dan mudharabah) atau kerjasama. Model pembiayaan ini adalah model pembiayaan yang paling ideal dalam perbankan syariah. Dikatakan ideal karena model pembiayaan ini khusus untuk kegiatan usaha atau aktivitas yang produktif. Dan kesanalah aktivitas perbankan syariah diarahkan, agar masyarakat terfasilitasi untuk berkarya dan bekerja secara produktif hingga menghantarkan kepada kesejahteraan pribadi yang pada gilirannya akan menyebar kepada lingkungan sekitarya. Lalu bagaimana praktik ideal pelaksanaan pembiayaan model partnership (musyarakah dan mudharabah) ini?Berikut sedikit ilustrasinya; misalkan pak ahmad adalah seorang pengusaha roti lapis legit. Dalam perjalanan bisnisnya selama 3 tahun ia menekuni pekerjaan tersebut, ternyata pemesanan terhadap produknya dipasaran sangat ramai hingga pak ahmad merasa kesulitan untuk melayani karena kekurangan alat serta modal untuk memenuhi permintaan pasar. Kemudian pak ahmad datang ke bank syariah untuk mengajukan pembiayaan. Dari pengajuan tersebut, perbankan akan merespon dengan melakukan pengecekkan dan analisa kelayakan usaha.


Setelah dilakukan studi kelayakan oleh bank dan ternyata permohonan kerjasama pembiayaan tersebut disepakati, maka bank akan mengucurkan dana kepada nasabah sebagai bentuk partnership (musyarakah dan mudharabah) (kerjasama). Dari kejasama yang dilakukan ini bank syariah berhak mendapatkan manfaat berupa keuntungan sebesar prosentase tertentu dari pendapatan atas usaha yang dilakukan. Besarnya nisbah merupakan hasil dari kesepakatan antara bank dengan nasabah. Misalnya antara bank dengan pak ahmad telah bersepakat untuk membagi pendapatan atas usaha dengan nisbah (proporsi) 45 : 55. Maksudnya adalah pada setiap bulannya 45% pendapatan adalah hak dari bank dan sisanya 55% dari pendapatan adalah haknya pak ahmad. Misalnya pada bulan pertama pak ahmad mendapat penghasilan sebesar Rp. 5000, 00 maka Rp. 2250,00 adalah hak dari bank sedangkan sisanya Rp.2750,00 adalah hak dari pak ahmad. Jika ternyata bulan kedua ternyata pak ahmad mendapat order sangat banyak karena sedang musim perikahan sehingga pendapatan bulan kedua sebesar Rp. 10000,00 maka yang menjadi dari hak bank adalah sebesar Rp. 4500,00 dan sisanya hak pak ahmad. Ternyata bulan ketiga masuk bulan ramadhan, dan terjadi penurunan pemesanan akibat adanya puasa. Sehingga bulan ketiga pendapatan pak ahmad turun menjadi Rp. 4000,00 maka hak dari bank adalah sebesar Rp. 1800 dan Rp. 2200 adalah hak dari ahmad.


Jika dilihat dari ilustrasi diatas Nampak sekali pendapatan bank tidak flat/tetap. Pendapatan bank juga akan menyesuaikan dengan tingkat pendapatan yang dapat diperoleh nasabah pada bulan tersebut. Mekanisme pembiayaan ini merupakan mekanisme yang paling adil. Dikatakn adil karena mekanisme bagi hasil merupakan mekanisme yang membela dua pihak. Saat nasabah sedang mendapatkan rizki yang melimpah, maka bank syariah juga mendapatkan manfaat yang berimbang. Namun jika bisnis nasabah sedang lesu maka bank syariah-pun juga akan menyesuaikan. Hal ini mengingat perjalanan bisnis mempunyai tiga keadaan. Yaitu untung, rugi dan impas. Tidak mungkin bisnis dijalani akan untung terus ataupun rugi terus, akan tetapi ia sangat fluktuatif. Disinilah letak dari kekhasan bank syariah yang lebih humanis (manusiawi) dibandingkan dengan mekanisme diluar syariah.


Kendala – Kendala


Sungguh luar biasa mekanisme syariah dalam bagi hasil ini. Sebuah sistem yang win – win solution, tidak ada yang dirugikan. Namun apakah perjalanan dari mekanisme bagi hasil ini telah berjalan secara sempurna? Ternyata sistem ini tidak serta merta berjalan mulus. Setidaknya terdapat dua kendala dalam praktek pelaksanaan pembiyaan pola partnership (musyarakah dan mudharabah) yaitu kendala teknis dan kendala mentalitas. Secara teknis kendala itu terjadi manakala nasabah tidak memiliki catatan laporan keuangan sehingga tidak dapat diketahui secara pasti besaran pendapatan. Sehingga pembagian nisbah tidak dapat dilakukan secara konsisten. Kendala berikutnya adalah kendala mentalitas, dimana mindset sebagian besar dari kita masih terkonsep dengan bunga. Sehingga ketika nasabah mendapat pendapatan besar, dia merasa sangat berat untuk membagikan hasil yang sesuai dengan proporsi sehingga cenderung untuk tidak melaporkan hasil secara terbuka. Dan kendala yang kedua ini yang membutuhkan proses lama untuk dapat menyelesaikannya. Alla kuli hal, persoalan ini selesai ketika edukasi ekonomi syariah sudah bisa dipahami. Tugas berat bagi perbankan syariah yang tidak melulu berfikir bisnis tapi juga sosialisasi ekonomi syariah ke masyarakat. Wallahua’lam



M. Dikyah Salaby Maarif dan Edo Segara

Saturday, October 25, 2008

Who Are The Agents of Change?


Mungkin bagi sebagian kita kalimat berikut sudah basi atau tidak luar biasa lagi.
"Bawakan aku sepuluh pemuda dan aku akan menggoncang dunia."
Kalimat itulah --maaf kalau redaksinya keliru-- yang pernah menggemparkan Indonesia dengan membakar semangat perjuangan para pemudanya. Kalimat itulah yang membuat nyali para penjajah menciut kusut. Kalimat itulah yang menjadi awal pengambalian rasa percaya diri Bangsa Indonesia. Ya, kalimat itu diucapkan dengan lantang oleh Bapak Proklamator kita, Soekarno.

Yakinlah bahwa ia mengatakannya tidak semata-mata karena ia adalah seorang presiden, akan tetapi berdasar atas keyakinannya bahwa yang bisa memperbaiki keadaan dan yang diandalkan untuk melakukan perubahan adalah KAUM MUDA.

Keberadaan kaum muda sedikit banyak menimbulkan warna dalam perjalanan "karir" suatu bangsa. Di Irak, Afganistan, dan Pakistan tentara Amerika takut terhadap aksi anarki dan bom bunuh diri dari gerilyawan yang hampir semuanya terdiri dari kaum muda setempat. Di Jepang perdana menteri terpilih karena dianggap keren oleh sebagian besar anak muda negerinya. Di masa awal dakwah terang-terangan Nabi SAW, yang ada di garda depan barisan dakwah bersama Nabi SAW adalah para pemuda Muhajirin. Semua tentang kaum muda. Pergerakannya, penentangannya, pemberontakannya, perubahan yang ditimbulkannya.

Saat ini...?

Ya! Dunia sebentar lagi (Atau mungkin sudah sejak dulu) dikuasai oleh kaum muda, secara langsung atau tidak, sadar atau tidak.

Ada istilah "The Agents of Change". Entah siapa yang pertama memperkenalkan istilah ini. Yang jelasnya, sangat logis jika kita, para kaum muda, menjadi "dalang" atas semua perubahan yang akan terjadi. Kita bisa melihat sekarang bahwa kaum muda negeri ini sudah mulai "menggeliat" mencari celah untuk memperbaiki bangsa. Atau belum?

Yang jelasnya, apa yang kita fikirkan sebagai kaum muda saat ini adalah bentuk ekspresif kita atas penggunaan potensi yang balum terbatas dan fikiran yang masih seluas cakrawala.

Tidak usah buru-buru untuk mengubah dunia, karena belum tentu diri kita siap. Tidak perlu hal-hal besar yang kita kejar. Hal-hal kecil di kampus, di komunitas, bahkan di kos-kosan bisa menjadi ladang kita untuk menjadi agents of change.

Kita menganggap diri kita aktivis, itu tidak salah. Tapi, apakah dengan begitu kita sudah puas? Apa parameter yang kita pakai untuk memasang label "aktivis kampus" pada diri kita? Perubahan apa yang telah kita buat?

Satu ungkapan oasis dari Kahlil Gibran: "Orang yang maju bukanlah yang memperbaiki apa yang ada sekarang, akan tetapi yang menggapai apa yang belum ia harus gapai."

Jangan menunggu esok untuk berbuat baik. Jangan menunggu orang lain untuk melakukan perbaikan. Bukankan ibadah yang disegerakan itu yang paling mulia?

Sebenarnya, apa yang menjadi kekhawatiran sebagian dari kita selama ini adalah (hanya) menganggap bahwa ini adalah hal yang "sepele", yang hanya dilakukan pada saat kita "mood", yang menganggap bahwa "ah, orang lain pasti sudah melakukannya dan aku tidak usah.".

Sobat, satu logika sederhana yang pernah diucapkan oleh anak SD.
"Bukankan dua otak lebih baik daripada satu otak?"

Bersama-samalah. Bekerja samalah!


Seorang pemimpin sekelas Soekarno sekalipun masih bisa diculik dan diasingkan oleh sekelompok pemuda. Ya, SEKELOMPOK pemuda. Bukan satu pemuda. Merekalah Chairul Saleh cs, pemuda-pemuda yang yakin akan tekad dan keyakinan mereka, berbuat sesuatu walaupun dianggap nekat oleh orang-orang. Sekarang kita bisa menganal mereka, menemukan nama-nama mereka di buku-buku sejarah, di arsip nasional, bahkan di tugu-tugu kota seantero bangsa. Itu hanya karena mereka yakin bahwa mereka bisa membawa perubahan.

Janganlah berkilah bahwa kita tidak bisa seperti mereka hanya karena kita berada di masa yang berbeda! Karena esok juga akan seperti itu, seperti 65 tahun silam.

Perubahan yang ada saat ini belum cukup untuk membuat kita hidup puas dan bebas sambil tersenyum bangga 10 tahun dari sekarang. Belum cukup untuk menghapus air mata Ibu Pertiwi, apalagi di sisi-Nya, yang mengajarkan kita untuk selalu menjadi makhluk yang lebih baik setiap hari!


Bismillah, maka inilah awal perubahan kita. Self Revolution for Life.

[fandy/afsee.blogspot.com]


Tuesday, October 21, 2008

Berdakwah dengan pena....

Ada banyak jalan yang kita pilih dalam mendalami arti pencarian jati diri. Kadang kita harus bergolak riang dengan segala ujian kebahagiaan dan pujian. Tapi juga kadang kita diajarkan bersabar dengan ujian dan musibah. Semua itu mengajarkan kita untuk menyikapi sesuatu dengan cara yang benar, tidak merepotkan, dan mendatangkan faedah.


Allah mengajarkan kita untuk bertafakkur, mencari arti dari semua yang terpindai oleh penglihatan kita, semua yang tercetak dalam fikiran kita. Ber-tafakkur, Allah menyuruh kita.
Apakah Allah hanya memerintahkan tanpa memberi petunjuk tentang bagaimana melakukannya? Coba fikirkan lagi!


Sekarang, coba kita kembali mempelajari arti tafakkur itu. Dalam surah Ali Imran ayat 189-190 Allah berfirman: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal, (yaitu) yang mengingat Allah pada saat dia berdiri, duduk, dan bahkan tidurnya. Dan yang memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi." (Q.S Ali Imran 189-191)
Maka itulah caranya! cara untuk menjadi orang yang terus-terusan mengingat Allah dengan memanfaatkan nikmat fikiran yang dkaruniakan oleh-Nya.



Sekarang, apakah sesederhana itu? Tunggu dulu.... Allah tidak akan mengajar kita secara setengah-setengah. Allah akan memberikan petunjuk dan imbalan yang sesuai. Perhatikan ayat berikut ini:
" ..., bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena (kalam). Dia mengajarkan menusia apa yang tidak diketahuinya." (Q.S Al Alaq 3-5)
Apakah ini bentuk keadilan? Ya, Dia Maha Adil!



Kita diperintahkan untuk belajar, bertafakur dengan membaca alam, serta menulis.
Pena
yang menjadi benda yang pertama diajarkan oleh Allah kepada kita, akan menjadi alat bagi kita untuk belajar setelah kita berhasil mengeksplorasi dengan membaca (Iqra).


Nah, sekarang kita menyadari bahwa ada beberapa petunjuk khusus yang diberikan oleh Allah SWT dalam menjalani kehidupan dengan mengejar kesuksesan. Seperti halnya Allah mengajarkan kita perniagaan dengan usaha yang disebutkan dalam Al Quran, Allah juga mengajarkan kita untuk menulis dan membaca sebagai satu-satunya cara untuk mengembangkan ilmu.


Maka, beruntunglah orang-orang yang saat ini menjadi penulis untuk kehidupan. Entah untuk kesenangan pribadinya, atau untuk menjalankan perintah vital dalam Islam, Ibadah dan dakwah.
Hal-hal kecil yang terjadi dalam tiap hari yang kita lewati, itulah yang akan menjadi bibit munculnya hal-hal besar, prestasi-prestasi luar biasa. Tulislah itu semuanya.
Biarkan kertas dan licinnya tinta mengantarkan pesan hati kita. Biarkan lipatan buku mengantarkan pesan kita kepada makhluk-Nya yang lain.



Biarlah prestasi kita ini yang mengatakan kepada dunia bahwa, Kita adalah salah satu hamba yang berhasil menggunakan ajaran Allah



Ayo menulis! [Fandi Sido, diambil dari posting di SELF REVOLUTION www.afsee.blogspot.com]

Friday, September 19, 2008

Belajar Memberi Makna

Semua berjalan seperti biasa. Kebanyakan orang-orang di sini, Korea, hanya tahu bahwa ini adalah bulan September. Di sepanjang jalan jarang ditemukan spanduk-spanduk bertuliskan “Marhaban Ya Ramadhan”, atau mungkin tak ada sama sekali. Ketika menyalakan televisi pun, tak ada acara-acara spesial seperti sinetron Ramadhan, di mana para artis tiba-tiba menjadi alim berjilbab. Ya, euforia Ramadhan yang biasanya ditemui di tanah air setiap setahun sekali, di sini hanya senyap.

Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, mungkin memang memiliki ciri khas tersendiri dalam menyambut dan menjalankan Ramadhan. Bisa jadi, Indonesia pada masa Ramadhan adalah objek yang sangat menarik untuk diteliti para sosiolog. Bagaimana tidak, banyak sekali ketiba-tibaan yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Dan bagi mereka yang jeli melihat peluang bisnis, Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk menggugah sifat konsumtif manusia. Berbagai department store memasang besar-besar spanduk “SALE RAMADHAN” atau “SALE LEBARAN”. Berbondong-bondong pembeli datang untuk berbelanja, bahkan mungkin menghabiskan sebagian besar waktunya di mal-mal. Padahal di rumah mereka, Alquran tergeletak begitu saja menanti untuk dibaca oleh pemiliknya. Apakah Ramadhan telah mengalami pergeseran makna?

Sore itu, di tengah segala suasana yang serba “biasa”, saya berjalan di sekitar Yuseong, Daejeon. Kertas “post-it” kuning bertuliskan petunjuk menuju Daejeon Islamic Center terus saya perhatikan. Turun di halte bus yang salah membuat awalnya saya agak kebingungan arah, namun sesaat kemudian saya menemukan jalan menuju ke tempat tersebut. Jangan dikira tempatnya megah atau indah dihiasi kubah-kubah masjid seperti di Indonesia. Di sepanjang jalan itu, berderet bangunan ruko, dari restoran sampai toko kaca mata. Jika tidak diperhatikan baik-baik, mungkin saya hanya akan berlalu dan tak dapat menemukan tempat bernama Daejeon Islamic Center, yang dari namanya bisa diartikan bahwa tempat tersebut adalah pusat studi, kajian, dan berkumpulnya orang-orang islam di Daejeon. Tempat itu berada di salah satu kawasan ruko yang cukup padat, berada di ruko lantai dua, dan tepat di bawahnya adalah sebuah bar. Sungguh sebuah ironi yang entah mesti dibilang menyedihkan atau membanggakan.


Lingkaran pengajian itu dihadiri tak lebih dari sepuluh orang wanita, bersyukur sekali saya berkesempatan menjadi satu di antaranya. Satu per satu, kami membaca surat Al-Qadr yang berarti “Kemuliaan”.

(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. (2) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (3) Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (4) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (5) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Q.S. Al-Qadr: 1-5)

Seorang wanita asal Mesir, yang oleh orang-orang lainnya dipanggil dengan sebutan “mu'allimah”, memandu pertemuan hari itu. Entah mengapa, setiap kali ia membicarakan keagungan dan membacakan hadits-hadits mengenai Ramadhan , hati ini terasa bergetar. Padahal sebagian dari yang ia bicarakan, sudah pernah saya ketahui sebelumnya. Konon menurut sebagian ahli tafsir Alquran, mengapa dalam surat Al-Qadr disebutkan bahwa malam Lailatul Qadr lebih baik dari seribu bulan ialah karena seribu bulan setara dengan 83 tahun. Dan 83 tahun adalah perkiraan batas usia manusia. Jadi malam Lailatul Qadr nilainya lebih baik dari pada seumur hidup kita. Subhanallah...

Maka do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Ada sebuah kisah tentang betapa agungnya Ramadhan. Pada suatu hari, seorang sahabat datang kepada Rasulullah SAW untuk menceritakan mimpinya. “Ya Rasul, aku memimpikan dua orang sahabat, mereka berdua selalu bersama dalam melakukan amal kebaikan. Salah seorang di antara mereka syahid dalam suatu perang. Dan seorang lainnya meninggal di tahun berikutnya ketika ia sedang tidur. Namun anehnya, sahabat yang meninggal saat tidur itu berada di surga yang lebih tinggi daripada sahabat yang syahid di medan perang.”

Dan Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau, hal itu dikarenakan sahabat yang meninggal setahun setelahnya memiliki kesempatan untuk sampai pada bulan Ramadhan selanjutnya. Dan pada bulan itu ia beribadah dengan sungguh-sungguh.”

Maka tak salah jika do’a yang diajarkan Rasulullah adalah, “Ya Allah, sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan…”

Di negeri ginseng ini semua berjalan seperti biasa. Tak ada atmosfer kemeriahan Ramadhan seperti di tanah air. Ah, tapi bukankah atmosfer itu harus kita ciptakan sendiri? Bukan hanya atmosfer yang terasa dari acara-acara televisi atau diskon-diskon dadakan yang diadakan oleh berbagai department store? Atmosfer itu ada di sini, di dalam hati kita. Kita tanamkan pada diri kita untuk beribadah sebaik yang kita mampu dan jadikan Ramadhan ini penuh makna. Kita tak pernah tahu, akankah kita sampai pada Ramadhan berikutnya...?

Daejeon, 8 September 2007 (Maisya)

Thursday, September 18, 2008

Mengenal Ekonomi Islam

 Perkembangan ekonomi islam di dunia, termasuk Indonesia, dalam beberapa dasawarsa ini telah menunjukan perkembangan yang luar biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga-lembaga ekonomi, baik keuangan maupun non-keuangan, yang mulai menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan operasionalnya. Ekonomi islam dijadikan sebagai alternatif lain dari kegagalan ekonomi konvensional, seperti ekonomi kapitalis dan sosialis. Untuk itu, alangkah baiknya kita, sebagai seorang muslim dan civitas akedemika, mengenal dan memahami ekonomi islam untuk menambah khasanah pengetahuan kita.

Ekonomi Islam

  Secara harafiah, ekonomi islam dapat diartikan sebagai sebuah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan pengelolaan harta benda manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an, Al- Hadist serta sumber hukum Islam lain yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadist, seperti Ijma’ dan Qiyas.

  S.M Hasanuzzaman mendefiniskan ekonomi islam dalam makalahnya yang berjudul Definition of Islamic Economics sebagai berikut: "Ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah dan tata cara yang ditetapkan oleh syariat, dengan tujuan mencegah ketidakadilan, dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material, guna memenuhi kebutuhan manusia, yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban kepada Allah SWT dan masyarakat."

  Dalam konsepnya, ekonomi islam memandang bahwa masalah utama ekonomi yang utama bukanlah bagaimana untuk memproduksi barang dan jasa, seperti pandangan ekonomi kapaitalis, melainkan bagaimana pendistribusi barang dan jasa tersebut di tengah-tengah manusia. Mengapa bisa demikian? sebab menurut pandangan ekonomi islam, produksi barang dan jasa adalah masalah yang mudah untuk diselesaikan dengan akal manusia sedangkan dalam proses pendistribusian barang dan jasa sering terjadi pertentangan, konflik, penyelewengan, dan keserakahan antarmanusia yang berujung pada ketidakadilan distribusi tersebut. Unsur fundamental yang membedakan ekonomi islam dari yang lainnya, yaitu bahwa ekonomi Islam bersifat robbani , menjunjung tinggi etika dan moral, menghargai hak-hak kemanusiaan dan bersifat modera Ekonomi islam memiliki tiga asas atau pilar utama yaitu:

Kepemilikan (al-milkiyah)

Dalam pandangan ekonomi islam, kepemilikan ada tiga jenis, yaitu

a) kepemilikan individu

Ekonomi islam mengakui adanya kepemilikan individu terhadap suatu benda tanpa dibatasi kuantitas asalkan cara memperolehnya sesuai dengan ketentuan syariat.

b) kepemilikan umum

Ekonomi islam mengatur kepemilikan bersama terhadap suatu benda yang bermanfaat bagi banyak orang. Yang termasuk benda ini adalah benda kebutuhan bersama (air, hutan, BBM), alam dan fasilitas umum, barang tambang.

c) kepemilikan negara

Pemanfaatan Kepemilikan (at-tashorruf fil milkiyah)

Ekonomi islam mengatur tata cara pengunaan harta miliknya sesuai dengan syariat islam. Meliputi dua kegitan, yaitu konsumsi dan produksi.

Distribusi Kekayaan (tauzi’u tsarwah baynannas)

Ekonomi islam mengatur pendistribusian harta sesuai dengan syariat. Distribusi dalam islam tidak hanya bertumpu motif ekonomi saja tetapi juga lebih megutamakan motif untuk meraih pahala yang sebanyak-banyaknya.

  Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini bahwa ekonomi Islam adalah solusi yang tepat atas kegagalan ekonomi, baik ekonomi sosialis, yang hanya dapat melahirkan manusia-manusia yang bermental peminta-minta dan pemalas, sehingga pada gilirannya terbukti mengakibatkan kehancuran suatu bangsa, atau ekonomi kapitalisme, yang memberikan keleluasaan mutlak atas kepemilikan tanpa dibarengi dengan asas keadilan sehingga menciptakan kemiskinan di berbagai belahan dunia.  

Perkembangan Ekonomi Islam

  Banyak orang awam mengira bahwa ekonomi islam adalah sesuatu baru yang muncul beberapa dekade yang lalu sebagai ekonomi solusi dari ekonomi sosialis yang tidak popular dan ekonomi kapitalis yang sarat ketidakadilan. Padahal, ekonomi islam sudah mulai berkembang berabad-abad sebelum aliran ekonomi klasik yang diusung olah Adam Smith muncul. Secara garis besar terdapat tiga tahap perkembangan ekonomi islam:

Masa Pertumbuhan dan Keemasan (450 M -1500 M)

  Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Kemudian setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dsb. Banyak ulama dan ilmuwan islam membahas tentang prinsip-prinsip ekonomi islam, seperti Abu ‘Ubayd, Ibn Khaldun, al-Ghazali.

Masa Kemunduran (1500 - 1950 M)

  Dalam masa ini terjadi stagnasi perkembangan ekonomi islam. Hal tersebut disebabkan dari runtuhya kekhalifahan islam yang digantikan oleh munculnya kerajaan-kerajaan Imperialis, yang mengusung ekonomi konvensional, baik itu sosialis, kapitalis, klasik, ataupun neoklasik.

Masa Kesadaran Kembali (1950 M - Sekarang)

  Konsep ekonomi islam muncul kembali di tengah umat muslim setelah kegagalan ekonomi konvensional untuk membuat seluruh umat sejahtera (ditandai dengan adanya ketimpangan antar negara kaya dan negara msikin) dan juga kesadaran kembali mereka akan ketidaksesuaian ekonomi konvensional dengan prinsip-prinsip islam. Dimulai dari diselenggarakannya Konferensi International Ilmu Ekonomi Islam I di Mekkah pada Februari 1976, ekonomi islam telah dan terus berkembang secara signifikan. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari banyaknya institusi dan produk ekonomi yang sudah bernafaskan islam (seperti perbankan, asuransi, dan pasar modal syariah, lembaga keuangan mikro syariah (BMT), sukuk, dll) di banyak negara, baik negara muslim maupun nonmuslim. Bahkan akhir-akhir ini telah dibentuk dewan zakat di regional asia tenggara.

  Selain dari segi teknis penerapan, ekonomi islam juga berkembang dalam tataran akademis. Banyak forum dan konferensi internasional yang membahas tentang reformulasi ekonomi islam guna menghadapi tantangan ekonomi dunia saat ini, seperti Forum Ekonomi Islam Dunia (WIEF) yang telah terselenggara empat kali. Dengan adanya ekonom islam, ukhuwah diantara negara muslim atau mayoritas muslim terjalin dalam organisasi internasional, seperti OIC, ICCI, dan ICDT.

  Dari dalam negeri, perkembangan ekonomi islam sudah dimulai sejak tahun 70-an. Namun perkembangan mulai marak pada dekade 90-an. ketika terbentuk Bank Muamalah. Di bidang praktis, ekonomi islam sudah diterapkan dalam banyak institusi, pasar, dan instrumen ekonomi. Hadirnya prinsip-prinsip islam di tengah ekonomi Indonesia telah terbukti mendukung sektor riil dan membawa angin segar bagi perekonomian.

  Sedangkan dalam tataran akademis, ekonomi islam telah berkembang secara signifikan. Terbukti dari terbentuknya organisasi IAEI, yang terus melakukan kajian-kajian serius seputar perkembangan ekonomi Islam, dan juga dari dibukanya prodi ekonomi islam di beberapa universitas serta kuliah-kuliah informal ekonomi islam di beberapa perguruaan tinggi, termasuk di kampus kita tercinta. Uraian diatas adalah sekilas mengenai ekonomi islam, bagi yang berminat untuk lebih memahami ekonomi islam dapat mengunjungi perpustakaan SEF atau mengikuti kuliah informal ekonomi islam (KnKEI) apabila nanti telah dibuka. (Yanuar)
 

Palestina, Bagaimana Engkau Kini?

  A woman told the cloud: cover my beloved

  For my clothing is drenched with his blood.

  If you are not rain, my love

  Be tree, sated with fertility, be tree

  If you are not tree, my love

  Be stone, saturated with humidity, be stone

  If you are not stone, my love

  Be moon, in the dream of the beloved woman, be moon.

  (So spoke a woman to her son at his funeral) 

  Petikan puisi diatas merepresentasikan kesengsaraan Bangsa Palestina dibawah kebejatan penjajahan Israel. Sudah enam puluh tahun lebih, Bangsa Yahudi lewat propaganda Zionismenya, menindas dan mengusir Bangsa Palestina dari tanah airnya. Ratusan bahkan ribuan rakyat Palestina telah menjadi korban kebejatan dari kecongkakan dan keserakahan Yahudi. Tidak hanya muslim, tetapi juga muslimah dan anak-anak Palestina, yang disiksa, dianiaya, dan dibunuh secara keji dan tidak manusiawi.

  Sejak Bangsa Yahudi melakukan invasi ke tanah para nabi ini, tatanan kehidupan Bangsa Palestina di berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial masyarakat, budaya, politik, yang tadinya masih rapuh menjadi semakin parah dan hancur luluh lantak. Kondisi ekonomi dan sosial masyarakat yang amat menyedihkan, wilayah teritorial yang semakin menyempit, dan perpecahan internal Bangsa Palestina, mewarnai sejarah perjalanan panjang Palestina dalam memperjuangkan hak mereka melawan kekejaman rezim zionis Israel. Berikut sekilas perkembangan tatanan kehidupan Palestina di bawah jajahan Israel selama enam puluh tahun.

Perjuangan Politik untuk Kebebasan

  Sudah sejak dari awal penjajahan Israel, Bangsa Palestina, dibantu bangsa Arab lainnya, berjuang untuk mempertahankan haknya melalui peperangan. Namun, dikarenakan oleh bantuan dari AS, perlawanan Bangsa Palestina selalu mengalami kegagalan dan wilayah yang dikuasainya malah semakin menyempit. Hingga kini setelah melalui berbagai macam petempuran, Bangsa Palestina hanya menempati Jalur Gaza dan sebagian Tepi Barat. PBB yang dianggap sebagai representasi dari dunia internasional seolah kehilangan fungsinya. Berbagai resolusi DK PBB dan pakta-pakta internasional dianggap angin lalu oleh Israel. Di tengah semua kemelut ini, terjadi perpecahan di tubuh Bangsa Palestina, antara Hamas yang radikal dan Fatah yang lebih moderat. Konflik tersebut dipicu oleh Perjanjian Oslo (yang mengakui berdirinya Israel sebagai negara yang sah) yang secara sepihak disetujui oleh PLO tanpa pertimbangan Hamas.

  Proses damai antara Palestina dan Israel terus berlangsung, dari mulai perjanjian Oslo, Pertemuan Kamp David, dan inisiatif-inisiatif perdamaian lainnya.Hingga beberapa waktu lalu ada secercah harapan pengembangan dari proses damai sebelumnya (yang disebut kesepakatan Peta Jalan Damai), yaitu dengan memberikan wilayah teritorial Palestina sebelum pertempuran tahun 1967 dan menarik semua tentara Israel di wilayah tersebut. Wilayah tersebut adalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina. Namun, pihak Israel yang telah menyetujui kesepakatan tersebut secara ironi karena ketamakannya melanggar kesepakatan tersebut. Israel telah berjanji dalam kesepakatan itu untuk menghentikan pembangunan pemukiman termasuk menghancurkan sejumlah pos-pos pemeriksaan di wilayah pendudukannya di Tepi Barat, tetapi Israel malah dengan sengaja membuka tender bagi pembangunan pemukiman baru dan menambah jumlah pos-pos pemeriksaan baru sebagai ganti dari pos-pos yang telah mereka hancurkan.

Stagnansi Perkembangan Ekonomi

  Dari catatan Bank Dunia, disebutkan bahwa pertumbuhan perekonomian Bangsa Palestina ketika dijajah oleh Israel tidak jauh berbeda dari ketika masih dibawah kontrol Inggris. Bahkan, apabila diliat indikator ekonomi lainnya (seperti tingkat pengangguran), kondisi ekonomi dibawah jajahan Israel lebih buruk. Sejumlah laporan mengungkapkan tentang meningkatnya penderitaan yang dialami oleh ribuan keluarga di Tepi Barat dan Jalur Gaza akibat kekejaman Israel hingga menyentuh kepada hal-hal mendasar dalam kehidupan.

  Kondisi ekonomi yang sudah hancur itu menjadi semakin parah ketika parpol miltan Hamas memenangkan pemilu legislatif pada tahun 2006. Sumber keuangan, yang berasal dari alokasi penerimaan pajak dari rakyat Palestina yang dipungut oleh Israel, dihentikan. Kucuran-kucuran dana dari kelompok negara kuartet (AS, Rusia, PBB dan Uni Eropa) dihentikan sampai pemerintahan Hamas mengakuikedaulatan negara Israel. Dalam kuun waktu itu, sumber keuangan untuk membiayai pemerintahan berasal dari bantuan negara-negara Timur Tengah, Lembaga Islam serta tokoh perseorangan yang bersimpati dengan perjuangan negara ini.

  Awal 2008 lalu, sudah ada secercah harapan akan adanya kemungkinan perbaikan kondisi ekonomi dengan adanya konferensi donor internasional yang menjanjikan lebih dari US $7.7 miliar bantuan pada pemerintah Palestina. Namun, bantuan tersebut akan sia-sia belaka jika pemerintah Israel terus melakukan blokade di Jalur Gaza. Melihat kemunafikan dan ketamakan Israel selama ini, tidak diragukan bahwa Israel akan berusaha untuk menghalangi pemulihan ekonomi Palestina.

Keprihatinan Sosial Masyrakat dan Tumbuhnya Budaya

  Senada dengan keadaan ekonomi yang porak poranda, kondisi sosial masyarakat Palestina pun sangat menyedihkan. Rakyat Palestina di sepanjang Jalur Gaza dan Tepi Barat mengalami penderitaan baik secara fisik maupun batin. Penderitaan fisik rakyat palestina tidak hanya berasal dari kemiskinan yang merajarela, tetapi juga berasal dari penyiksaan, penteroran, dan penganiayaan setiap hari. Pejuang lelaki palestina dibantai dan dibunuh dengan cara yang keji, perempuan palestina dilecehkan oleh tentara Israel, anak-anak palestina dipenjara dan diperlakukan seperti binatang.

  Hasil dari tempaan perjuangan melawan zionis telah melahirkan generasi pejuang kebudayaan melalui berbagai macam bentuk karya seni. Karya seni dijadikan sebagai media pengobar semangat perjuangan. Banyak lukisan yang menggambarkan perjuangan melawan Israel yang membangkitkan semangat juang para syuhada untuk tetap berjuang. Para sastrawan lahir mengobarkan semangat perjuangan dengan puisi dan karya sastranya yang epik. Seperti puisi karya Mahmoud Darwish berjudul yang berjudul ”Under Siege” diatas, yang mengkisahkan kesedihan seorang perempuan yang kehilangan putranya dalam gempuran zionis Israel.

 Itulah gambaran warna kehidupan yang mengiringi perjuangan Bangsa Palestina selama enam dekade melawan zionisme Israel. Begitu banyak kepedihan dan penderitaan yang dialami Bangsa Palestina. Kita patut bersyukur kejadian itu tidak menimpa Indonesia dan berusaha semampu kita untuk dapat membantu mengurangi penderitaan mereka. Karena penderitaan rakyat Palestina merupakan penderitaan kita semua sebagai sesama muslim sebagaimana yang disampaikan Rosul, bahwa satu muslim dengan muslim yang lainnya adalah bagaikan satu tubuh, satu bagian terluka, maka sekujur tubuh merasakan sakitnya. Semoga Allah SWT membalas amal perbuatan kita. Amin. (Yanuar) 

Dr. Muhammad Umar Chapra (Pakar Ekonomi Islam Internasional IDB Jeddah)

Adam Smith, J.S.Mill, dan David Ricardo adalah nama-nama yang tak asing lagi bagi pendengaran kita. Dan akan sangat janggal terdengar di telinga bila kita masih bertanya siapa mereka. Karena hampir setiap hari kita bergelut dengan mereka melalui pemikiran-pemikiran yang terbingkai dalam konteks ekonomi (ekonomi konvensional). Melalui dialektika pemikiran-pemikiran merekalah ekonomi konvensional bisa berkembang hingga saat ini.

Terkait dengan negasi suatu istilah, jika kita berbicara mengenai ekonomi konvensional pasti akan ada yang disebut ekonomi nonkonvensional atau yang lebih popular dikenal sebagai ekonomi Islam (syariah). Seperti halnya ekonomi konvensional yang berkembang melalui para pemikirnya sebagai motivator, ekonomi syariah juga bisa eksis karena ada para idealis yang bersedia memberi sumbangsih pemikiran terhadap teori-teori ekonomi syari’ah sehingga bisa memperkuat eksistensi ekonomi syari’ah itu sendiri.

Berbeda dengan para tokoh ekonomi konvensional yang keberadaannya terasa dekat dengan memori kita, khususnya mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Busines (FEB), tokoh-tokoh ekonomi syariah masih seperti orang asing bagi sebagian besar mahasiswa FEB. Untuk itulah, melalui rubrik “PROFIL EKONOM MUSLIM” ini, diharapkan kesenjangan pengetahuan seperti yang tersebut di atas bisa lebih diminimalisir.

Umar Chapra, beliau adalah pakar ekonomi Islam yang eksistensi dan kwalitas pemikirannya sudah dikenal dan diakui oleh dunia internasional. Nama asli beliau adalah Muhammad Umer Chapra. Seorang pakar dan penasihat ekonomi-perbankan berkebangsaan Pakistan, tetapi lahir di Bombay pada tahun 1934. Dan beliau memperoleh gelar MBA dari Universitas Karachi dan Ph.D. dari Universitas Minnesota.

Pada tahun 1999, secara langsung beliau memberikan pelayanan sebagai Research Advisor at the Islamic Research & Training Institute (IRTI) pada the Islamic Development Bank (IDB). Sebelum bergabung di sana, beliau telah bekerja sebagai Senior Economic Advisor di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) pada tahun 1965. Selain itu, beliau juga pernah mengajar mata kuliah ekonomi pada University of Wisconsin Platteville dan University of Kentucky, Lexington, Amerika.

Di balik semua karirnya itu, ternyata beliau adalah juga seorang penulis yang banyak mengupas tentang praktek-praktek internasional dengan referensi kebijakan teori dan praktek ekonomi Islam. Melalui berbagai jenis tulisannya lah beliau berusaha memberikan suguhan alternatif solusi praktek ekonomi internasional, yaitu ekonomi syari’ah. Beliau memberikan kontribusi terhadap ekonomi Islam dalam bentuk buku, monograph, paper, dan book reviews sudah lebih dari tiga dekade.

Adapun buku-buku yang telah ditulisnya adalah sebagai berikut:

  1. Islam and Economic Development: a strategy for development with justice and stability (1993). Tentang perkembangan ekonomi Islam.  
  2. Islam and the Economic Challenge (1992). Tentang tantangan ekonomi Islam
  3. Towards a just monetary system: a discussion of money, banking and monetary policy in the light of islamic teachings (1985). Mendiskusikan permasalahan uang , bank dan kebijakan moneter.
  4. Monetary and fiscal economics of Islam: an outline some major subjects for research (1978). Tentang keuangan dan ekonomi moneter dalam Islam.
  5. Money and banking in an islamic Economy, in monetary and fiscal economics of Islam (1978). Tentang ekonomi dan perbankan Islam.
  6. The Islamic welfare state and its role in the economy, in Islamic perspective. Studies in honour of Abu A’la Mawdudi (1979). Tentang peraturan ekonomi dan kesejahteraan negara islam.
  7. The Future of Economis: an Islamic perspective. (2000).  
  Dan masih banyak buku lainya dan ada beberapa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.  
  Sementara artikel yang ditulis Chapra antara lain:  
  1. Monetary management in an Islamic economy, New Horizon, London, 1994.  
  2. Islam and the international debt problem, Journal of Islamic Studies, 1992.  
  3. The role of islamic banks in non-muslims countries. Journal Institute of Muslim Minority Affair, 1992.  
  4. The need for a new Economic System, Review of Islamic Economics/Mahallath Buhuth al-Iqtishad al-Islami, 1991.  
  5. The Prohibition of Riba in Islam: an Evaluation of Some Objections, American Journal of Islamic Studies, 1984.
(Anita)